Pengibaran Bendera Ula-Ula: Ritual Sakral Kaya Makna Dalam Tradisi Pra-Nikah Masyarakat Sulawesi Selatan
Oleh Dionisius Ngeta (Warga Masyarakat Bukit Nangahure Kelurahan Wuring, Alok Barat, Sikka)
Kesetiaan dan kepatuhan melaksanakan ritual pengibaran Bandera Ula-ula adalah salah satu bentuk dan cara pelestarian dan pewarisan tradisi mereka sebagai sebuah kearifan lokal. Ritual tersebut merupakan puncak dari serangkaian ritual dan upacara adat sebelum hari puncak pernikahan yaitu upacara Akad Nikah secara keagamaan. Masyarakat Bugis terutama keluarga yang memiliki garis keturunan ningrat/bangsawan meyakini bahwa ritual pengibaran Bandera Ula-ula adalah sebuah ritual yang sakral, penuh makna dan tidak tuntas dijelaskan secara rasional (misteri).
Tidak semua masyarakat Bugis memiliki Bandera Ula-ula dan tidak semua hajatan dikibarkan Bandera Ula-ula. Bandera itu hanya dinaikan dan dikibarkan pada saat menjelang Pernikahan dan Upacara Sunat.. “Bandera ini adalah barang pusaka, sakral dan merupakan ahliwaris nenek moyang/leluhur. Dia disimpan di tempat khusus. Hanya orang khusus yang dapat mengambil, menghantar, menaikan dan mengibarkannya. Tidak semua orang Bajo-Bugis punya Bandera Ula-ula. Bandera ini diwariskan oleh nenek-moyang yang memiliki garis keturunan Ninggrat”, demi Hj. Lolo Dide, salah satu kepala Suku Bugis Wuring, yang berdomisili di Waturia.