Pemodal Kolaborasi dengan Mafia, Sumber Konflik Tanah Ulayat

“Namun faktannya, kerap kali hak masyarakat adat dicaplok atas nama pembangunan. “Ini membuat masyarakat adat dengan hak-haknya mengalami proses marjinalisasi,” ujar Ansy.

Ansy menyampaikan, Komisi IV DPR dalam rapat bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI pada 2020 lalu, sudah meminta untuk mengakomodir hak masyarakat adat dalam aturan turunan seperti peraturan daerah dan peraturan menteri.

“Nah, ini yang kita lihat belum terjadi. Karena konflik horizontal yang kerap melibatkan masyarakat adat dengan korporasi, masyarakat adat berhadapan dengan negara terjadi karena memang kelihatannya dari sisi regulasi pada tingkat daerah maupun penegakan hukum pada tingkat lokal itu masih jalan setengah hati,” jelasnya.

Ketua Presidium Kongres Rakyat Flores (KRF), Petrus Selestinus mengatakan konflik tanah ulayat masih sering terjadi di NTT dan Sumatera. Di Flores, kasus misalnya terkait lahan suku Maumere di Nangapanda, Kabupaten Ende yang diklaim milik institusi TNI; kasus penguasaan lahan Sepang-Nggieng di Labuan Bajo; dan konflik lahan Desa Pubabu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More