
Tidak jarang, dalam realitas harian paradoks – paradoks ( penyangkalan dan pengkianatan ) tampil bermegah dalam eksistensi kita. Pasalnya tunggal : ketidaksetiaan, memudarnya pelayanan dan pengorbanan serta hilangnya nilai kasih dalam relasi kebersamaan. Paradoks penyangkalan dan pengkianatan begitu mudah berakselerasi, bermutasi dan bermigrasi dalam lingkaran kehidupan bersama. Melemahnya ketidaksetiaan, pudarnya pelayanan dan pengorbanan serta hilangnya nilai kasih sebagai kondisi yang “sehat” bagi penyangkalan dan pengkianatan dalam relasi kebersamaan. Bahkan relasi yang “intim” sekali pun akan rusak oleh penyangkalan dan pengkianatan, hanya karena kita tidak berpegang teguh pada kesetiaan, pelayanan dan pengorbanan serta kasih.
Misalkan saja : perselingkuhan dalam kehidupan rumah tangga, patologi kekuasaan politik yang berwajah ( koruptif, kolutif dan nepotis ), ujaran kebencian dan hoaks, ketidaksetiaan dalam panggilan adalah realitas yang melanggengkan paradoks penyangkalan dan pengkianatan untuk bertahan dan ( lalu ) terus menggoda kebersamaan hidup. Siapa yang mesti bertanggung jawab ? Ya, masing – masing kita koreksi diri untuk bertanggung jawab, sejauh mana kita bertahan dalam kesetiaan, pelayanan dan pengorbanan serta kasih untuk sedapat mungkin tidak memberi ruang bagi paradoks penyangkalan dan pengkianatan dalam lingkaran kehidupan bersama.*