
Coba tengok Oxford University, universitas nomor satu di dunia. Mereka juga menaruh hormat pada pengobatan herbal dan menempatkan hal itu sebagai salah satu mata kuliah yang dapat diambil oleh mahasiswa kedokteran.
Di Indonesia?
Kita sibuk dengan sindiran yang mungkin campur baur dengan rasa malu. Kuatir dianggap kuno dan anti-ilmu. Karenanya, pertentangan di media ramai dengan silang pendapat soal zat aktif yang tidak diketahui.
Jamu dapat dianggap berbahaya karena konsumen tidak diinformasikan mengenai dampak atau efek samping. Kekuatiran semacam itu boleh-boleh saja. Sayangnya, keraguan dan enggan diikuti dengan lemahnya riset.
Sibuk dengan debat. Luput melihat negara-negara lain yang kesadarannya sudah amat maju. Mereka mungkin tidak gembar gembor promosi ini dan itu.
Tetapi studi mereka berjalan. Karena itu, peluang mereka untuk mendapatkan manfaat dari tradisi justru jauh lebih besar daripada kita, muasal dari ramuan-ramuan itu.
Menurut saya, beda dengan ilmuwan negeri sono, kita tidak ada kerendahan hati untuk terbuka mengakui orang-orang tua dulu punya budaya pengobatan yang luar biasa.