Nataru Sebagai Momentum Transformasi Diri (Sebuah Refleksi)
Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk
Ada beberapa makna atau pesan dari spirit para gembala: “marilah sekarang kita pergi ke Betlehem” (Lukas 2:15) bagi kita, yakni (1) Memiliki sikap hati yang responsif. Setelah mendengar warta sukacita dari para malaikat, para gembala sangat responsif dengan bergegas tergerak, bergerak dan saling menggerakan untuk pergi ke Betlehem (Rumah Roti) tempat Sang Roti hidup yang telah turun dari surga lahir. Oleh karena itu, sikap responsif para gembala ini harus menjadi sikap kita untuk juga berani melangkah dalam iman dan percaya pada janji Allah dalam kehidupan sehari-hari (2) hati kita adalah Betlehem. Untuk menjumpai Yesus Sang Juruselamat dunia, tidak perlulah kita ke Betlehem, kota suci di tepi barat Palestina, melainkan pergilah dan kunjungilah ke Betlehem hati kita masing-masing, untuk menjumpai Yesus Sang Putra Natal. Agar Yesus Sang Putra Natal dapat lahir di palung hati kita, maka rendah hati, terbuka hati, dan kesucian hati menjadi kuncinya. (3) transformasi diri. Para gembala menerima kabar sukacita kelahiran Yesus Sang Juruselamat menjadikan mereka lahir secara baru, dengan memperbarui harapan dan keyakinan mereka kepada Yesus, Sang Juruselamat. Seperti para gembala, kita pun diharapkan melalui peristiwa Natal, harus terjadi transformasi diri sebagai manusia baru, yang harus kita kenakan saat memasuki tahun baru. Jika peristiwa Natal tidak menjadikan kita sebagai manusia baru, maka tahun baru tidak memiliki makna. Mengapa? Karena tahun baru hanya akan bermakna, kalau kita lahir kembali menjadi manusia baru melalui peristiwa Natal. Jangan sampai kita merayakan Natal dan tahun baru hanya ritus semata, namun tidak bermakna bagi kita, dalam arti tidak terjadinya transformasi diri kita.