Natal dan Ijon Daging
Oleh: Bernadinus Steni (Mahasiswa S3 Dalam Bidang Managemen Lingkungan IPB, Penggiat Standar Berkelanjutan)
Ijon daging saat Natal memang istimewa. Bagi orang-orang di Kampung, makan daging adalah kemewahan, setidaknya saat itu.
Ada nilai lebih yang tidak bisa diukur dengan uang ketika satu keluarga menyantap bersama daging arisan persis saat Natal atau Tahun Baru.
Sekarang ini mungkin sudah berbeda karena menjamurnya warung, restoran dan bakso keliling. Orang bisa saja mensejajarkan makan bersama seperti itu dengan pesta pora di restoran.
Tetapi tentu tidak demikian. Yang bikin spesial adalah perayaan hati. Di kampung, dalam kesederhanaan mereka, Natal hadir sungguh-sungguh.
Tidak pake topi santa klaus atau dalam balutan kerlap kerlip lampu, bukan pula detangan lonceng gereja yang disambut sorakan “Joy to the World” atau “Jingle Bells”.
Tapi pada pertemuan yang tulus antara hati yang terbuka dan makna kelahiran Kristus. Hanya orang-orang itu sendiri yang dapat mendefinisikan maknanya. Natal itu personal tetapi sekaligus sosial.
Tentu saja orang-orang saat itu bisa mendengar cerita Natal yang meriah di kota-kota dari omongan orang. Itupun mereka yang bercerita itu muncul beberapa waktu kemudian. Kalaupun mau sedikit dibayangkan saat Natal, bisa didengar dari Radio masa itu.