Natal dan Ijon Daging

Oleh: Bernadinus Steni (Mahasiswa S3 Dalam Bidang Managemen Lingkungan IPB, Penggiat Standar Berkelanjutan)

NATAL di Flores selalu menyenangkan. Meski diguyur hujan lebat, perjuangan mencapai Gereja Paroki patut dikenang.

Nikmat dan susah sekaligus, bercampur aduk antara merayakan Natal dan menerjang pukulan hujan. Hingga pertengahan 1990an, hujan bulan desember memang demikian lebat.

Bulir-bulirnya sebesar biji jagung. Walau demikian, kerepotan itu hanya sesaat dan tidak sebanding dengan kegembiraannya. Yang penting pada akhirnya bisa merayakan Natal.

Sebetulnya tidak ada yang mewah. Hanya hadir misa, terima komuni, ketemu banyak orang, ucapkan selamat natal, ngobrol ngalor ngidul, kemudian diakhiri dengan kerlip kerlap lampu natal (kalau ada).

Hanya itu. Sesudahnya, back to normal. Balik ke rumah dan menjalani rutinitas biasa. Kalau agak mewah, ada sedikit perubahan lauk buat makan malam natal atau siang harinya.

Misalnya, daging atau ikan besar (ikang lea). Makanan seperti itu agak sedikit naik kelas, karena biasanya partner gundukan nasi hanya ikan tembang* kering yang bikin lesu selera.

Kadang kala karena disatukan dengan perayaan Tahun Baru,  orang-orang di kampung sepakat untuk “julu”** babi, kambing atau anjing.

BACA JUGA:
Pancasila dan Budaya Manggarai, Falsafah Hidup Penghuni Bumi Nuca Lale (Bagian I)
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More