
Napak Tilas Gereja Tua Lengko Ajang: Butuh Kolaborasi Bersama untuk Merawatnya
Oleh Walburgus Abulat (Jurnalis, Penulis Buku Karya Kemanusiaan Tidak Boleh Mati, dan Buku Emas Paroki Thomas Morus Keuskupan Maumere)
Gereja bersejarah ini didirikan di atas lokasi yang saat itu berawa yang sudah ‘disulap’ oleh warga setempat sehingga bisa dijadikan lokasi bangunan gereja.
Gedung Gereja Tua Lengko Ajang dirancang dengan arsitektur Gothic Neo Eropa yang memiliki nilai seni yang tinggi dan dimodifikasi dengan unsur budaya setempat.
Gereja tua lengko ajang memiliki lima candi/kubah di mana di atas setiap candi ada salibnya.Bangunan atap pada candi utama gereja menyerupai atap rumah adat dan lodok lingko (kebun komunal) dalam tradisi pembagian tanah atau ladang di kalangan orang Manggarai Raya yang menyerupai sarang laba-laba. Arsitektur modifikasi Gothic Neo Eropa dan rumah adat ini membuat Gereja Tua Lengko Ajang mewariskan banyak nilai, dan membuat siapa saja yang mengunjunginya atau melihatnya bikin jatuh cinta dan menyayanginya.
Dalam rentang waktu kurang lebih 98 tahun usia paroki/gereja Lengko Ajang, ada 10 imam yang dipercaya sebagai pastor paroki. Para pastor paaroki itu adalah RP. Wilhelm Janssen, SVD (1927-1950-an); RP. Petrus de Graaf, SVD (1960-1973), RP. Alo Mitan, SVD (1973-1984); RP. Bernadus Jebabun, SVD(1984-1998), RP. Adam Satu, SVD; RP. Lukas Larun, SVD; RP. Remi Thaal, SVD; RP. Paulus Barekama, SVD; RP. Rafael Mesi, SVD; dan Pastor Paroki saat ini RP. Piter Due, SVD.