
Nangaroro dan Kematian Aktivis: Apakah Penolakan Adalah Kejahatan?
Oleh : Agnes Hestika ule, Mahasiswi Semester Vll STIPAS St. Sirilus Ruteng
Tragedi kematian aktivis di Nangaroro memperlihatkan betapa mahalnya harga yang harus dibayar masyarakat adat untuk mempertahankan hak mereka. Ini seharusnya menjadi alarm keras bagi negara, lembaga agama, dan masyarakat luas untuk memperkuat ruang dialog, melindungi pembela lingkungan, dan memastikan bahwa pembangunan benar-benar menghadirkan kebaikan bersama.
Jalan Menuju Rekonsiliasi dan Harapan
Kematian Vian memang menyisakan luka, tetapi tragedi ini juga bisa menjadi titik balik. Pemerintah, Gereja, dan masyarakat sipil harus bersama-sama membangun ruang dialog yang sejati, di mana masyarakat lokal tidak hanya menjadi objek pembangunan, tetapi juga subjek utama.
Gereja bisa memainkan peran sebagai mediator, negara berkewajiban menjamin perlindungan hukum, sementara masyarakat sipil harus terus bersuara agar tragedi serupa tidak terulang. Pembangunan yang inklusif harus mengedepankan prinsip: tidak ada seorang pun yang dikorbankan demi keuntungan segelintir orang.
Vian Ruma kini telah tiada, tetapi suaranya tidak boleh mati. Ia telah menjadi simbol dari perjuangan masyarakat kecil yang sering dipinggirkan. Dengan keberaniannya, ia mengingatkan kita bahwa menolak demi kebenaran bukanlah kejahatan, melainkan panggilan hati nurani.