
Nangaroro dan Kematian Aktivis: Apakah Penolakan Adalah Kejahatan?
Oleh : Agnes Hestika ule, Mahasiswi Semester Vll STIPAS St. Sirilus Ruteng
Inklusi Sosial Sebagai Jalan Keadilan
Dari perspektif inklusi sosial, kita belajar bahwa pembangunan yang baik tidak boleh meninggalkan siapapun. Inklusif berarti melibatkan semua kelompok masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, termasuk masyarakat adat yang sering kali berada di pinggiran. Bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan juga bagian dari identitas, budaya, dan spiritualitas.
Kasus geothermal di Nangaroro menyoroti masalah serius: suara masyarakat adat yang menolak proyek tersebut tampaknya tidak cukup diakomodasi. Mereka khawatir tanah leluhur akan hilang, sumber air tercemar, dan keseimbangan alam terganggu. Penolakan ini adalah bentuk partisipasi yang sah, bukan kejahatan. Namun, ketika ruang partisipasi ditutup dan suara mereka diabaikan, yang lahir bukan kesejahteraan, melainkan ketegangan, luka, dan bahkan tragedi.
Gereja Katolik melalui Compendium of the Social Doctrine of the Church menegaskan bahwa keterlibatan aktif warga dalam menentukan masa depan mereka adalah bagian dari martabat manusia yang tidak bisa ditawar. Ketika ruang partisipasi ditutup dan kritik diperlakukan sebagai ancaman, kita sedang berjalan menuju ketidakadilan struktural. Maka pertanyaan “Apakah penolakan adalah kejahatan?” seharusnya diganti dengan pertanyaan yang lebih jujur: “Mengapa aspirasi masyarakat tidak kita dengarkan?”