Menghapus Batas, Merajut Persaudaraan: Iklusi Sosial dalam Kehidupan Sehari-Hari

Oleh Yuvensius Aldokis Manuk, Mahasiswa STIPAS St. Sirilus Ruteng

Persaudaraan yang sejati, kata Paus Fransiskus, lahir dari perjumpaan: “Kita dipanggil untuk membangun budaya perjumpaan yang mampu melampaui perbedaan” (FT, 215). Perjumpaan itu bukan hanya dialog formal, melainkan kehadiran yang tulus, berbagi kehidupan sehari-hari, dan memberi ruang bagi orang lain untuk didengar dan diakui.

Meski inklusi sosial dipandang sebagai cita-cita luhur, realitas menunjukkan bahwa praktik eksklusivisme masih mengakar. Budaya diskriminasi, politik identitas, serta kesenjangan ekonomi menjadi hambatan serius. Namun demikian, harapan tetap ada. Paus Fransiskus mengingatkan: “Tidak ada yang dapat menghadapi kehidupan sendirian… Kita hanya dapat diselamatkan bersama-sama” (FT, 32). Harapan ini menuntut partisipasi semua pihak: pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas iman, dan masyarakat sipil. Inklusi sosial harus menjadi budaya, bukan sekadar proyek.

Masyarakat yang inklusif tidak lahir dari wacana besar semata, melainkan dari tindakan-tindakan sederhana: menyapa tanpa memandang latar belakang, membuka ruang partisipasi bagi yang terpinggirkan, serta mengulurkan tangan dalam solidaritas nyata. Inilah cara kita merajut persaudaraan: dari rumah tangga, komunitas, hingga kehidupan berbangsa.

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More