
Menghapus Batas, Merajut Persaudaraan: Iklusi Sosial dalam Kehidupan Sehari-Hari
Oleh Yuvensius Aldokis Manuk, Mahasiswa STIPAS St. Sirilus Ruteng
Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti menegaskan: “Cinta itu melampaui batas-batas geografi dan ruang. Dalam ketulusannya, cinta mampu melampaui segala tembok yang memisahkan” (FT, 1). Pernyataan ini menjadi ajakan nyata agar kita tidak berhenti pada pengakuan formal tentang persaudaraan, tetapi sungguh berani menghapus sekat-sekat sosial yang memecah belah.
Demikian pula Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes menegaskan bahwa, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (GS, 1). Artinya, inklusi sosial bukan pilihan opsional, melainkan bagian tak terpisahkan dari iman yang diwujudkan dalam solidaritas.
Inklusi sosial sering dipahami dalam kerangka kebijakan publik, seperti akses pendidkan dan hukum. Namun Menghapus batas bukan berarti menghilangkan identitas pribadi atau kelompok. Identitas tetap ada, namun ditempatkan dalam bingkai yang lebih luas: persaudaraan universal. Inklusi sosial terjadi ketika masyarakat menyediakan akses pendidikan yang layak bagi semua, ketika kaum miskin kota memiliki ruang hidup yang bermartabat, dan ketika perbedaan agama tidak menjadi alasan untuk saling menutup diri.