
Menggugat Budaya Diam: Perempuan sebagai Mitra Setara dalamTerang Mulieris Dignitatem
Oleh Efrida Anna Sukarti Jou, Mahasiswa Sekolah Tingggi Pastoral Santo Sirilus Ruteng
Semuanya ini bukan hanya seruan kosong.Ini adalah ajakan bagi kita semua untuk berani meninjau ulang cara kita memperlakukan perempuan. Kita harus terus bertanya: sampai kapan perempuan hanya jadi penonton? Sampai kapan kita puas melihat mereka terdiam, sementara laki-laki memegang kendali? Kalau kita ingin masyarakat yang adil, beradab, dan sejahtera, maka jawabannya jelas yaitu sudah saatnya perempuan ikut bermain, ikut bicara, ikut memimpin. Sebab, tanpa perempuan, dunia akan pincang.Harapan ke depanya, perempuan di Nagekeo tidak lagi sekadar duduk di pinggir atau di belakang, tetapi benar-benar hadir di depan sebagai pengambil keputusan. Bayangkan sebuah keluarga di mana anak perempuan diajarkan sejak dini bahwa dirinya berharga dan pantas untuk memimpin. Jika gambaran ini kita wujudkan bersama, maka budaya yang dulu perempuan selalu dinomorduakan akan berubah menjadi budaya yang mengangkat martabat manusia tanpa membedakan jenis kelamin. Hal ini ditunjukan kepada semua orang. Sudah saatnya kaum laki-laki tidak lagi melihat perempuan sebagai saingan, melainkan sebagai kaum yang setara. Memberi ruang bagi perempuan untuk bicara bukan berarti kehilangan kuasa, melainkan memperkaya kebijaksanaan bersama. Dengan berjalan beriringan, laki-laki dan perempuan akan membangun masyarakat yang lebih adil, penuh cinta kasih, dan sesuai dengan kehendak Allah. Dan pada saat itulah, pertanyaan besar “sampai kapan perempuan hanya jadi penonton?” akan menemukan jawabannya: sampai hari ini, karena mulai besok perempuan harus ikut bermain di panggung utama. ***