
Menggugat Budaya Diam: Perempuan sebagai Mitra Setara dalamTerang Mulieris Dignitatem
Oleh Efrida Anna Sukarti Jou, Mahasiswa Sekolah Tingggi Pastoral Santo Sirilus Ruteng
Dalam seruan ensiklik dan apostolik, ditegaskan bahwa perempuan memiliki martabat yang setara dengan laki-laki. Paus Yohanes Paulus II dalam Mulieris Dignitatem menekankan bahwa perempuan adalah individu utuh, bukan separuh manusia. Mereka memiliki martabat, akal, kehendak bebas, dan hak yang setara untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat juga dalam Gereja. Jika masih ada budaya atau kebiasaan yang memposisikan perempuan sebagai pihak kedua, maka budaya tersebut bertentangan dengan ajaran yang memicu kebangkitan. Ajaran ini mengajak kita untuk memandang perempuan sebagai mitra yang setara dengan laki-laki dalam upaya keselamatan yang diusung oleh Allah.
Namun, masalah ini cukup rumit. Dimana kita sudah dibelenggu oleh budaya patriarki yang sudah lama mengakar dalam kehidupan kita. Banyak yang menganggap bahwa tidak melibatkan perempuan adalah hal yang normal. Ada pula yang menjadikan diamnya perempuan sebagai indikator bahwa mereka tidak memahami topik yang dibahas. Di sisi lain, kita juga tidak boleh lupa bahwa perempuan sendiri harus memiliki keberanian untuk melangkah. Selama hanya menunggu untuk dipanggil, kesempatan tidak akan datang. Perempuan perlu mulai bersuara, sekecil apapun, di dalam keluarga, komunitas, ataupun masyarakat secara umum. Keberanian untuk bersuara adalah langkah pertama untuk beralih dari posisi penonton ke pemain. Memang, ini bukanlah perkara mudah, karena ada ketakutan akan penolakan, kemungkinan dianggap sebagai orang yang lancang, bahkan ada risiko kemarahan. Namun, tanpa keberanian tersebut, perubahan dalam diri kita tidak akan pernah terjadi.