Mempertimbangkan Pendelegasian Perempuan dalam Proses Adat Perkawinan di Sikka
(Catatan kecil di tengah budaya patriarki)
Jika saja, pemikiran penulis lebih dilihat sebagai bentuk ” provokasi “, maka bagi penulis, ini ” provokasi ” yang konstruktif dilatari pemikiran bahwa pria dan perempuan adalah sederajat (sama). Hanya hal – hal kodrati sajalah membedakan pria dan perempuan (pria tidak mengandung – perempuan mengandung, pria tidak melahirkan – perempuan melahirkan, pria tidak menyusui – perempuan menyusui). Urusan – urusan non kodrati pria dan perempuan, selayaknya disejajarkan dan dijalankan bersama demi kemaslahatan kehidupan sosio ( budaya, adat istiadat ).
Untuk itu, mari sejenak menengok sejarah. Dasar – dasar perjuangan kaum perempuan Sikka, sudah dimulai sejak masa Pemerintahan Ratu Dona Maria ( ketika pemerintahan masih dalam bentuk kerajaan ). Ratu Dona Maria, pada masa pemerintahannya telah menetapkan pembelisan ( mahar ) bagi kaum perempuan oleh kaum pria dalam adat perkawinan di Sikka. Dilatari oleh pemikiran, bahwa perempuan mesti ditinggikan atau disejajarkan dengan pria, demikian tujuan perjuangan Ratu Dona Maria untuk kaumnya melalui penetapan pembelisan dalam adat perkawinan di Sikka ( Edmundus Pareira, Wake Puàng : Nukilan Kembali Sejarah Kabupaten Sikka, 1985 : 38 ).
Saatnya kaum perempuan diberi ruang utk kula babong di meja adat dlm urusan perkawinan. Zaman sdh berubah kesetaraan dan keadilan gender tdk hy wacana tapi hrs diwujudkan. Menjadi presiden, menteri, DPR/DPRD, kadis, camat dan kades jg bisa, apalagi hy jubir di meja adat yg hy melibatkan dua keluarga.
Kalau gagasan ini datang dr kaum laki-laki untuk kemajuan kaum perempuan, luar biasa. Tempora mutamur et nos mutantur in ilis.