Memisahkan Anak dari Akar Demi Sayap: Refleksi Hari Anak Nasional dari Seorang Ayah Perantau

Oleh Nurdin, Warga Flores yang tinggal di Makassar

Ada juga kekwatiran akan risiko stres dan kesepian yang akan dialami anak. Hal ini bisa disebabkan karena proses adaptasi di lingkungan baru yang ketat bisa menimbulkan tekanan, homesick, dan perasaan terisolasi, terutama bagi anak yang belum siap.

Potensi terjadinya kehilangan jejak budaya lokal dalam diri anak kita. Mungkin tidak banyak orang tua yang mengkwatirkan hal ini. Namun saya secara pribadi sangat mengkwatirkan juga akan hal ini. Karena dengan sekolah jauh dari lingkungan asalnya, anak mungkin kurang terpapar secara intens nilai-nilai, tradisi, dan bahasa daerah asalnya (seperti budaya kita di Reo – Manggarai – Flores yang kaya akan keberagaman tradisi dan adat-istiadatnya).

Memisahkan Anak dari Akar Demi Sayap: Refleksi Hari Anak Nasional dari Seorang Ayah Perantau
Siswi Kelas VII ASBM Angkatan 2025. Foto istimewa.

 

Refleksi Seorang Ayah : Rindu, Bangga, dan Pertanyaan di Hati

Sebagai ayah yang mengalami ini langsung, perasaan saya campur aduk. Setidaknya saya sangat mengkwatirkan beberapa hal di bawah ini :

  1. Rindu yang menghunjam itu pasti. Pulang ke rumah di Reo – Flores tanpa celoteh dan tawanya terasa hampa. Video call tak bisa menggantikan pelukan dan kehadiran fisik. Ada rasa bersalah halus, apakah kami “mengorbankan” kehangatan masa kecilnya?
  2. Insya Allah, suatu saat akan bangga melihat sayap anak mulai berkembang. Moment ketika mendengar dan menyaksikan progres prestasi akademiknya, mendengar ceritanya tentang kegiatan di sekolah, di asrama dan di lingkungan ekstra kurikulernya. Menyaksikan ia semakin percaya diri dan berani menyampaikan pendapat – rasa bangga itu pasti tak terkira. Semua orang tua pasti bangga melihat “sayap”- anaknya mulai menguat.
  3. Pertanyaan mendasar; apakah “akar” yang kami tanam selama ini di Reo Flores – nilai-nilai keluarga, cinta kasih, fondasi agama, dan kebanggaan akan budaya – cukup kuat untuk tetap menghunjam dalam jiwanya meski jauh? Apakah sekolah mampu tidak hanya memberi ilmu, tetapi juga menjadi “tanah” baru yang subur bagi akar-akar itu untuk terus tumbuh, bukan tercerabut?
  4. Belajar dari masa lalu, saya sendiri pernah merantau untuk sekolah. Saya tahu rasanya kesepian, tapi juga tahu betapa pengalaman itu membentuk saya. Ini memberi sedikit ketenangan, tapi juga pengingat bahwa setiap anak itu unik.

Fenomena ini bukan hitam-putih. Yang terpenting bagi kita sebagai orang tua adalah, mencari keseimbangan: Memupuk Akar, Membenahi Sayap. Bukan tentang benar-salah mutlak, tapi tentang keseimbangan dan kesiapan. Beberapa hal penting yang menjadi komitment saya dan istri, semoga juga bisa menjadi pertimbangan bagi orang tua yang saat ini senasip, untuk kita pertimbangkan sebelum keputusan untuk “memisahkan anak dari akar demi mengejar sayap” bagi anak-anak kita tercinta.

  1. Kesiapan Anak adalah Kunci. Usia, kematangan emosional, dan karakter anak harus menjadi pertimbangan utama. Memaksa anak yang belum siap hanya akan melukai.
  2. Komunikasi adalah Jembatan. Teknologi memungkinkan komunikasi intens. Bukan sekadar menanyakan nilai, tapi mendengarkan keluh kesah, kerinduan, dan kegembiraannya. Jadikan setiap sambungan sebagai siraman untuk akar yang jauh.
  3. Memperkuat Fondasi Sebelum Berangkat. Investasikan waktu dan cinta untuk membangun ikatan emosional yang kuat dan menanamkan nilai-nilai keluarga serta budaya sebelum anak pergi. Akar yang dalam lebih sulit tercerabut.
  4. Kolaborasi dengan Sekolah. Pilih sekolah yang tidak hanya fokus pada akademik dan disiplin, tapi juga peduli pada perkembangan psikososial anak dan menghargai latar belakang budayanya. Komunikasikan harapan dan kekhawatiran sebagai orang tua.
  5. Memaknai “Pulang Kampung”. Jadikan liburan sebagai waktu untuk memperdalam kembali ikatan dengan keluarga besar, alam, dan budaya Flores. Libatkan anak dalam tradisi, ceritakan sejarah keluarga, biarkan ia merasakan kembali tanah “akar”-nya.
  6. Respek pada Pilihan yang Berbeda. Tidak semua anak harus jauh. Pendidikan berkualitas dan pembentukan karakter juga bisa terjadi dekat rumah, dengan dukungan keluarga dan komunitas yang kuat. Setiap keluarga punya konteks dan pilihan terbaiknya sendiri.
Memisahkan Anak dari Akar Demi Sayap: Refleksi Hari Anak Nasional dari Seorang Ayah Perantau
Puteri Pak Nurdin, Adinda Rizqa Brillianty, siswa kelas VII AMBS Malang. Foto istimewa
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More