
Memisahkan Anak dari Akar Demi Sayap: Refleksi Hari Anak Nasional dari Seorang Ayah Perantau
Oleh Nurdin, Warga Flores yang tinggal di Makassar
Beberapa hari atau pun beberapa minggu sebelumnya, bertaburan status di medsos (media sosial). Postingan beberapa keluarga dan sahabat, yang sedang mengantarkan anak-anak kesayangan mereka untuk masuk ke sekolah yang dicita-citakan. Yang menjadi menarik bagi saya, adalah ternyata cukup banyak keluarga yang rela melepaskan anaknya untuk sekolah jauh dari lingkungan keluarga intinya. Meski berat hati, namun mereka harus “tega” merelakan dan melepaskan anak-anak mereka untuk diasuh di Pondok Pesantren, Sekolah Terpadu atau pun di Boarding School, yang letaknya jauh di luar pulau Flores NTT. Saya bisa merasakan itu karena saya dan istri pun dengan terpaksa melakukan hal yang sama; “memisahkan anak dari akar demi sayap“. Meski rindu terbelanggu jarak yang tak tergapai, asalkan anak dapat meraih asa untuk masa depan yang lebih baik dari orang tuanya. Itulah doa dan harapan luhur dari semua orang tua tentunya.
Hari ini, Kamis 23 Juli 2025, kita merenungi kembali makna Hari Anak Nasional. “Udara Reo pagi ini terasa berbeda. Biasanya, tawa anak sulungku mengisi rumah”, demikian celoteh istri saat video call dengan saya yang saat ini berada di Makassar. Saya memahami perasaan istri, bahwa kini, hanya sunyi dan rindu yang menemani, karena si Putri Sulung sedang menuntut ilmu jauh di Aisyiah Boarding School Malang. Fenomena seperti ini, “memisahkan anak dari akar demi sayap”, menjadi semakin lazim. Sebagai seorang ayah, yang juga pernah merasakan menjadi anak rantau, saya ingin membagikan refleksi pribadi tentang “dilema cinta” ini. Yaitu perasaan (ego orang tua) antara mempertahankan kehangatan akar keluarga dan lingkungan masa kecil, dengan memberikan kesempatan mengembangkan sayap menuju cakrawala yang lebih luas.