Permakultur dan Eksegese Sukacita di Tengah Pandemi

Oleh : Bernadinus Steni (Penggiat Standar Berkelanjutan)

Pada akhirnya, mereka tidak hanya sembuh secara fisik tetapi mampu merasakan cinta alam. Lebih dari itu, melalui itu semua mereka merasakan Tuhan.

Derita tentu tidak mudah disingkirkan. Mereka yang terlanjur kemoterapi tentu amat menderita. Demikian halnya dengan penderita jantung koroner, diabetes, lupus, syaraf kejepit, dan seterusnya merekam memori kesakitan itu dan terus membayangi perjuangan mereka untuk sembuh.

Di Mekon mereka disuruh menyingkirkannya dengan melucu ditingkahi ketawa lepas dan senyum lebar. Sikap itu sendiri sudah banyak ditinggalkan oleh rasionalisme modern. Bahkan tertawa lebar acapkali dianggap mengganggu.

Orang gila. Karena itu, tidak sedikit pasien yang dikendalikan cara berpikir demikian, akhirnya kecewa dan tidak percaya bakal sembuh.

Mereka butuh pil, vaksin, dan sejenisnya. Quick fix, instant, itulah yang banyak orang inginkan. Mirip dengan cara hidup sehari-hari. Ingin cepat kaya, walaupun caranya tidak halal. Karena itu, banyak orang memburu obat mujarab yang dipropaganda 1000 % lebih manjur.

BACA JUGA:
Jokowisme, Isu, dan Sampah Demokrasi
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More