Berdasarkan pengalaman dan pengamatan sang ayah terhadap kami, kami dingatkan, ”malas itu bantal setan.” Kami terkejut dengan kata-kata sang ayah itu. Kami merinding ketika mendengar kata ”setan,” karena teringatlah kami akan pelajaran agama di sekolah bahwa anak yang malas belajar, itu tandanya setan sudah ada di dalam dirinya. Kata-kata sang ayah memperkuat kata-kata bapak ibu guru agama di sekolah. Kami diam membisu sambil mencari kesempatan dan alasan supaya bisa terhindar dari kampanye sang ayah.
Sang ayah melanjutkan nasihatnya bahwa setan bisa ada di dalam diri kita terlihat ketika anak-anak tidak mengindahkan suara orang tua, tidak mengikuti perintah dan suruhan orang tua di rumah dan bapak-ibu guru di sekolah. ”Kita akan menjadi manusia yang tidak berhasil di kemudian hari karena kita berjalan di jalan setan. Kamu harus belajar melawan bujukan setan Jangan sampai sebegitu mudahnya mengikuti kemauan setan. Pada jam doa malam matamu selalu tertutup, terasa berat untuk dibuka karena setan sudah bergantung di kelopak matamu.” Kami semakin takut dengan isi kampanye ayah itu. Sang ayah melanjutkan bahwa ciri khas setan adalah tidak menginginkan manusia sukses, tidak suka akan yang baik. Setan itu selalu menggiring manusia ke jurang yang dalam supaya tidak bisa bangkit lagi dan tidak bisa menghasilkan sesuatu untuk hidupnya. Setan itu selalu mencari yang mudah-mudah, gampang, dan tidak peduli dengan suara orang tua di rumah dan bapak ibu guru di sekolah. Setan itu selalu berusaha menggiring anak-anak berjalan di jalannya. Setan akan menjadikan anak-anak sebagai bantalnya yang empuk.