MacIntyre dan Etika Keutamaan

Oleh: Iqbal Hasanuddin (Character Building Development Center, Binus University)

Dalam After Virtue, MacIntyre menyatakan bahwa masyarakat modern ditandai oleh adanya ketidaksepakatan moral. Semangat Pencerahan dan sikap kritis terhadap tradisi di dalam modernitas telah menyebabkan sistem moral menjadi terpecah-pecah, saling bertabrakan dan tidak berkesesuaian satu sama lain. Di dalamnya, tidak ada sebuah standar untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Moralitas tidak lagi menjadi upaya untuk mencari kebenaran, melainkan sekedar adu argumentasi.

Menurut MacIntyre, hal ini disebabkan oleh kegagalan masyarakat modern untuk merumuskan apa itu “manusia yang baik.” Tanpa pemahaman yang tepat dan disepakati bersama ihwal konsep “manusia yang baik,” bagi MacIntyre, kita mustahil untuk bisa bersepakat tentang moralitas. Dalam hal ini, kita bisa melihat keberpihakan MacIntyre kepada “etika keutamaan” yang menjadikan filsafat manusia sebagai titik-tolak bagi etika atau moralitas.

Karenanya, bagi MacIntyre, masyarakat modern juga cenderung didominasi oleh pandangan yang bersifat emotivistik dan instrumental. Emotivisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa kalimat etis sebetulnya sekadar mengungkap perasaan-perasaan subyektif kita, tapi tidak memiliki muatan kognitif. Karenanya, emotivisme menolak universalitas dari klaim-klaim moral. Sebagai akibatnya, filsafat moral digunakan semata-mata untuk membenarkan nalar instrumental di mana apa yang dianggap baik adalah alat yang paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuan.

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More