Legal Standing dan Legalitas Terhadap Status Tanah HGU di Tanah Ai (Tanggapan Atas Tulisan John Bala, SH)
Oleh Marianus Gaharpung, S.H., M.S. (Dosen Universitas Surabaya / Ubaya)
Dalam Penjelasan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, suatu masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
ada wilayah hukum adat yang jelas;
ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati;
dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Satu pertanyaan saja, apakah kedua suku ini punya peradilan adat yang berlaku sampai saat ini? Jadi jangan menggunakan UU Kehutanan untuk pendasaran pembenaran kedua suku ini. Sekali lagi pertanyaan kepada John Bala, apakah semua ini sudah terpenuhi dan mendapatkan pengakuan dari pemerintah terhadap kedua suku ini?
Oleh karena itu, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (“Permendagri 52/2014”). Dalam peraturan tersebut, digunakan istilah ‘wilayah adat’, yaitu tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat. Untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dilakukan melalui tahapan: