Ketika Suara di Jalanan Lebih Lantang dari Mimbar

Oleh Agnes Hestika Ule, Mahasiswi Semester VII STIPAS St. Sirilus Ruteng

 

Suara Keadilan yang Terabaikan

Ajaran Sosial Gereja menegaskan bahwa keadilan tidak dapat dipisahkan dari kasih. Jika kita sungguh mengasihi sesama, kita harus bersikap adil kepada mereka. Ketidakadilan yang sistematis, seperti kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang atau pengelolaan sumber daya yang merugikan banyak orang, akan selalu memicu perlawanan. Demonstrasi Agustus 2025 adalah buah dari situasi tersebut: suara rakyat yang merasa ditinggalkan dan diabaikan.

Mimbar yang seharusnya hadir sebagai penuntun moral justru tampak tertinggal. Ketika khotbah atau homili hanya membicarakan moralitas pribadi tanpa menyentuh realitas sosial, maka ia kehilangan relevansi. Injil Kristus bukan hanya tentang doa dan kesalehan pribadi, melainkan juga tentang pembebasan dari penindasan, tentang membela yang lemah, tentang menjadi sahabat bagi mereka yang menderita.

 

Suara di Jalan sebagai Tanda Zaman

Demonstrasi Agustus 2025 dapat dibaca sebagai “tanda zaman”. Umat manusia sepanjang sejarah selalu mencari cara untuk menyampaikan aspirasi mereka. Nabi-nabi dalam Perjanjian Lama sering kali bersuara lantang menegur raja dan bangsa Israel ketika mereka menyimpang dari jalan Tuhan. Yesus sendiri tidak ragu melawan sistem keagamaan yang korup, bahkan menyebut para pemimpin agama yang munafik sebagai “kuburan yang dilabur putih” (Matius 23:27). Artinya, suara keras di jalan bukanlah sesuatu yang asing dalam tradisi iman.

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More