Ketika Seminari Pius XII Kisol Goes Synodal, Elemen Warga Berkomitmen Lakukan Revolusi Pendidikan Selaras Zaman

Laporan Wall Abulat (Jurnalis, Penulis Buku Karya Kemanusiaan Tidak Boleh Mati, dan Alumnus Seminari Kisol Tahun 1989)

Borong, Pojokbebas.com_Seminari Santo Pius XII (SANPIO) Kisol berhasil melaksanakan Seminar Nasional dan Bedah Buku berjudul Sanpio Go Synodal: Revolusi Pendidikan Melalui  Spiritualitas Ekaristi Transformatif. Seminar dan bedah buku yang berlangsung di Aula Sanpio, Sabtu (6/9/2025) itu menghasilkan pelbagai komitmen dan dinamika dari sejumlah pihak untuk melakukan revolusi pendidikan di Sanpio  selaras zaman dengan indikator  agar para seminaris mahir di  bidang science/knowledge, technology, engeneering, dan mathematics (STEM). Elemen warga juuga berharap agar lembaga pendidikan Sanpio  terbuka untuk menerima siswa  yang tidak saja untuk menjadi calon imam tetapi juga tedrbuka untuk calon awam berkualitas selaras zaman..

Seminar yang dipandu Moderator RD. Ardus Tannis  S.Fil, S.Pd diawali dengan sambutan Gubernur Provinsi NTT Emanuel Melkiades Laka Lena, S.Si,Apt. Gubernur dan penyampaian apresiasi dan testimoini dari beberapa alumnus Sanpio termasuk anggota Hakim Konstitusi RI Dr. Inoseentius Samsul.

Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena dalam sambutannya antara lain menyampaikan apresiasinya atas pelbagai terobosan dan kemajuan pendidikan di Sanpio yang selalu mengharumkan nama Provinsi NTT di kancah nasional karena prestasi di bidang akademik.

Gubernur secara khusus menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada pimpinan Seminari Sanpio, panitia, para seminaris, para alumni, para penulis buku.

“Profisiat atas ultah Sanpio., profisiat untuk buku yang luar biasa, profisiat untuk alumni. Viva Sanpio. Viva Sanpio, salve,” kata Gubernur Laka Lena.

 

Dibuka oleh Praeses Sanpio

 

Seminar Nasional dan bedah buku dibuka secara resmi oleh Praeses Seminari Sanpio RD. Fransiskus H. Warman, S.Fil, S.Pd.

Praeses dalam sambutannya antara lain mengemukakan bahwa Seminar Nasional dan Bedah Buku “Sanpio Goes Synodal: Revolusi Pendidikan Melalui Spiritualitas Ekaristi Transformatif” merupakan bagian dari perayaan Dies Natalis ke-70 Seminari Pius XII Kisol dan Festival Lembah Sanpio.

Praeses menyebut momen itu sebagai suatu ujud syukur yang menyatukan kenangan masa lalu, realitas hari ini, dan harapan masa depan.

“Tentu ini merupakan peristiwa istimewa yang membantu kita untuk merefleksikan jejak-jejak sejarah penuh makna  dan mengkonstruksikan sebuah model formasi pendidikan dan pembinaan calon imam yang adaptif dan responsif terhadap perkembangan zaman,” kata Praeses. Praeses berharap agar  seminar dan kehadirian buku ini membantu kita untuk dapat menyesuaikan diri dan tanggap terhadap berbagai perubahan yang terjadi kini dan di masa depan.

Buku ini, lanjut Praeses,  lahir dalam sebuah ruang kegelisahan dan harapan; kegelisahan kami para formator, guru, pembina dan sekalian orang yang peduli dengan seminari ini tentang kondisi eksisting seminari yang membutuhkan sebuah jawaban atas persoalan, kesulitan, tantangan dan solusi nyata yang disediakannya di dalamnya.

“Di sini juga ada harapan bahwasannya, tradisi yang kuat, segala bentuk kerjasama, dan terutama daya kuasa Allah mampu memberikan kekuatan dan jalan terbaik dalam segala situasi dan kondisi yang kami hadapi. Dalam ruang kegelisahan dan harapan ini, kami mencoba menemukan jawaban dengan membangun kolaborasi dengan berbagi pihak secara istimewa para profesional yang mampu menyumbangkan pikiran, gagasan dan kerangka kerjanya untuk mencapai tujuan,” katanya.

Praeses pada kesempatan ini juga menggarisbawahi bahwa buku ini lahir dari sebuah kesadaran bahwa pendidikan seminari membutuhkan peta navigasi.

“Peta inilah yang menuntun perjalanan panjang Sanpio agar tidak kehilangan arah, sekaligus memberi makna bagi setiap langkah. Dalam peta ini, kita menemukan titik temu antara sejarah 70 tahun perjalanan seminari, dinamika formasi saat ini, dan visi pendidikan yang hendak kita wujudkan di masa depan,” katanya.

Judul buku ini, urainya, mengandung makna yang sangat mendalam. Sanpio Goes Synodal mengajak kita semua untuk menjalani formasi dalam semangat sinodalitas, yaitu berjalan bersama sebagai sebuah komunio. Sinodalitas bukan hanya metode, melainkan cara hidup: berpikir bersama, merasakan bersama, merumuskan bersama, dan bertindak bersama. Sedangkan Revolusi Pendidikan Melalui Spiritualitas Ekaristi Transformatif menegaskan bahwa pusat segala perubahan adalah Ekaristi. Dari Ekaristi, lahirlah daya hidup yang mampu mentransformasi pribadi, komunitas, bahkan dunia.

Lebih jauh, buku ini menghadirkan refleksi kritis dan konstruktif tentang tantangan dan peluang pendidikan seminari masa kini.

Para penulis menyumbangkan gagasan dari berbagai perspektif—spiritual, intelektual, sosial, kultural, bahkan politis—untuk memperkaya model formasi yang lebih integral, relevan, dan adaptif terhadap zaman. Buku ini tidak hanya menjadi bunga rampai wacana, tetapi juga peta reflektif yang memandu arah pembinaan calon imam agar tetap berakar pada tradisi, sekaligus terbuka pada perubahan dunia modern.

Buku ini dengan demikian merupakan sebuh legacy – warisan istimewa – kado – yang mesti dimaknai dalam proses pendidikan dan pembinaan di seminari. Secara konkret, kegiatan pemaknaannya kita lakukan pada hari ini; ada seminar, launching dan bedah buku. Sebuah kegiatan prestisius yang mumpuni, membekas dan memberi makna tersendiri bagi perjalanan lembaga ini. Harapannya, buku ini menjadi acuan bagi para formator dalam memberikan materi pembinaan bagi seminaris. Acuan bagi para seminaris untuk memaknai perjalanan hidupnya di seminari ini.Buku ini selanjutnya dalam proses kreatif akan menjadi acuan utama dalam pendidikan dan pembinaan di seminari; menjadi bahan konferensi klasikal dan umum, bahan kajian para guru di kelas, bahan bacaan untuk kegiatan meringkas buku dan presentasi bagi para seminaris baik secara pribadi maupun kelompok-kelompok minat.

“Akhirnya, peristiwa hari ini adalah tanda harapan. Sanpio hadir sebagai jantung keuskupan, suluh bagi masyarakat, dan oase bagi bangsa. Melalui karya ini, kita diteguhkan bahwa pendidikan transformatif hanya bisa terwujud dalam kebersamaan, dalam semangat sinodal yang berakar pada Ekaristi. Semoga buku ini menjadi inspirasi, bukan hanya bagi keluarga besar Sanpio, tetapi juga bagi seluruh lembaga pendidikan iman yang rindu melahirkan generasi muda yang tangguh, solider, dan bijaksana.

 

Reverensi Pendidikan Seminari di Indonesia

Momen Bedah buku dilanjutkan dengan  penyampaian gambaran pengerjaan buku, artikel yang dimuat dan latar belakang penulis yang disampaikan oleh Editor buku Dr., Marianus  Mantovanny Tapung, S.Fil, M.Pd.

Dr. Mantovanny Tapung antara lain mengemukakan bahwa  proses editorial buku yang memakan waktu hampir dua tahun  bukan sekadar menyunting 38 manuskrip dari 44 penulis, melainkan upaya mengharmonisasikan beragam perspektif akademik menjadi satu visi kohesif tentang masa depan pendidikan seminari.

“Ketika pertama kali menerima amanah sebagai editor, saya menyadari bahwa buku ini harus menjadi lebih dari dokumentasi yubileum. Bersama tim penyunting, kami merancang struktur “5S” – Sanctitas, Scientia, Sanitas, Sapientia, dan Solidaritas – sebagai kerangka filosofis yang tidak hanya mencerminkan tradisi SANPIO, tetapi juga menjawab tantangan pendidikan abad ke-21,” kata Doktor Mantovanny.

Proses kuratorial yang ketat dilakukan untuk memastikan setiap artikel, lanjutnya,  berkontribusi pada narasi besar tentang transformasi pendidikan seminari. Kami tidak hanya mencari tulisan berkualitas akademik tinggi, tetapi juga gagasan yang berani, inovatif, dan contextually relevant.

 “Yang membuat saya optimis adalah komitmen SANPIO menjadikan buku ini bagian dari hidden curriculum. Setiap bulan selama tiga tahun, siswa seminari akan mendiskusikan artikel-artikel ini dalam seminar akademik. Ini bukan hanya latihan intelektual, tetapi proses transformasi mindset generasi muda seminaris agar mampu menjadi agen perubahan di masyarakat.” katanya.

Konsep “Goes Synodal” yang kami pilih sebagai tema sentral, lanjutnya mencerminkan semangat kebersamaan, partisipasi, dan tanggung jawab bersama dalam membangun masa depan. Hal ini sejalan dengan visi Gereja universal tentang sinodalitas, namun dicontextualisasikan dalam realitas pendidikan seminari Indonesia.

“Sebagai akademisi yang juga alumnus SANPIO, saya melihat buku ini sebagai jembatan antara warisan masa lalu dan aspirasi masa depan. Dengan tebal 770 halaman dan dukungan Penerbit Obor, karya ini diharapkan menjadi referensi penting dalam studi pendidikan seminari di Indonesiam” kata Dr, Mantovanny.

 

Pelbagai Dinamika Bedah Buku

Disaksikan media ini melalui zoon meeting acara bedah buku semakin memberi warna akademik dan knoeledge ketika 4 pembedah buku yang hadir di Aula Sanpio yakni RD. Dr. Agustinus M. Habur, Lic. Theol. (Rektor UNIKA St. Paulus Ruteng), Dr. Fransiska Widyawati, M.Hum. (Dosen UNIKA St. Paulus Ruteng), Romanus Ndau, S.S., M.Si (Praktisi-Wakil Alumni Sanpio); Dr. Yonas K.G.D. Gobang, S.Fil.,MA (Rektor UNIPA Maumere), dan seorang pembedah Prof. Dr. Gabriel Lele, S.I.P., M.Si (Dosen Universitas Gadjah Mada) secara daring menyampaikan ilmu dan tawaran menarik terkait Konsep “5S” yang menjadi fondasi buku dan jiwa pendidikan di Sanpio selama ini yakni—Sanctitas, Scientia, Sanitas, Sapientia, dan Solidaritas.

Rektor UNIKA St. Paulus Ruteng RD.  Dr. Agustinus M. Habur, Lic. Theol membedah tentang Sanctitas yang meliputi Spiritualitas Digital dan Keaslian Iman.

Doktor Manfred Habur pada kesempatan ini antara lain menjelaskan tentang spiritualitas ekaristi, solidaritas dan kontribusi sosial, pentingnya ruang dialog,  kolaborasi, solidaritas dan kontribusi sosial.

Menurut Doktor Manfred Habur renstra yang digerakkan oleh spiritualitas ekaristi akan menunmbuhkan  ekosistem  Seminari  yang mengarah pada kekudusan yang konkret, bukan hanya  ideal.

Romo Manfred  menggarisbawahi pentingnya rensta yang relevan dan kontekstual yang dijiwai  dengan  spiritualitas dan dan kerohanian yang  mantap.

“Sebab strategi tanpa  spiritualitas  akan kosong, sistem tanpa  rohani akan menjadi mekanis,” katanya.

Doktor Manfred Habur meminta semua elemen warga, khususnya para seminaris dan alumni Seminari Sanpio  untuk terus menyalakan  api spiritualitas ekaristi  dalam keseharian.

“ Maka, membiarkan api spiritualitas  ekaristi  terus  menyala adalah  tugas kita  bersama agar  arah strategis Sanpio ke depan tidak hanya  rasional dan modern, tetapi  benar-benar  evangelis dan kudus. Inilah warisan sejati  bagi 70 tahun Sanpio dan bekal  menuju  berikutnya,” kata Doktor Manfred Habur.

Pembedah kedua,  Dosen UNIKA St. Paulus Ruteng Dr. Fransiska Widyawati, M.Hum yang membedah tentang Scientia (Formasi Berkelanjutan dan Pendidikan Abad).

Doktor  Fransiska Widyawati menggarisbawahi pentingnya strategi pendidikan di Seminari Sanpio ke depannya untuk tidak saja  mengakomodir bagi siswa calon imam saja, tetapi juga harus terbuka untuk para calon awam dengan penekanan pada science, technology, engeneering, dan Mathematics (STEM).

Ia optimistis bahwa dengan ada ruang awam untuk mengenyam pendidikan di Seminari dan menerapkan sistem STEM di atas maka Seminari ke depannya akan menghasilkan ahli-ahli di bidangnya untuk Indonesia. “Kita berharap agar menghasilakn banyak ahli dari Seminari untuk Indonesia,” katanya.

Selanjutnya, Praktisi-Wakil Alumni Sanpio Romanus Ndau, S.S., M.Si membedah terkait Sanitas (Kesehatan Holistik dan Kesadaran Mental). Romanus Ndau pada kesempatan ini menggarisbawahi penting agar para seminaris dan tamatan seminari memiliki tiga keunggulan di bidang knowledge, skill, dan attitude yang baik.

Sementara Rektor UNIPA Maumere Dr. Jonas K.G.D. Gobang, S.Fil.,MA membedah tentang Sapientia (Kepemimpinan Partisipatif-Transformatif dan Pastoral Kontekstual).

Dr. Jonas KGD Gobang  dalam materinya berjudul “Demokrasi yang Sedang Menjadi di Indonesia”  dan menjelaskan tema Sapientia antara lain pentingnya keterlibatan publik dalam berdemokrasi. Menurut Rektor Unipa Maumere ini, tanpa keterlibatan publik yang aktif, demokrasi  hanya akan menjadi slogan tanpa substansi.

Doktor Gery Gobang juga menyebut ti beberapa implikasi  pastoral terlibat di mana para seminaris mesti menjadi garam dan terang di ruang publik, menggunakan media untuk menggunakan media  untuk menciptakan  cue sosial baru yang memicu habit kritis, jujur, demokratis demi bonum commune; pastoral bukan haya liturgi, tetapi juga intervensi sosial komunikatif.

Doktor Gery Gobang juga mengakui bahwa Demokrasi Indonesia masih democracy in the  making: perlu energi iman dan kebiasaan baru; butuh kolaborasi warga, media, seminaris untuk menciptakan cue  yang membentuk habit demokratis; sapientia iman dengan mengarahkan homo sapiens menjadi agen kebijaksanaan publik, bukan  sekadar makhluk  yang biasa mengikuti kebiasaan buruk lingkungannya.

Sementara Prof. Dr. Gabriel Lele dalam artikelnya Mendidik Seminari, Menyiapkan Demos: Urgensi Penguatan Civic Education antara lain menggarisbawahi pentingnya solidaritas  responsife-transformatif dengan cara ikut mendukung  terlibat aktif, dan  berkontribusi melalui pikiran dan aksi  dalam  merespons  dan  mengatasi berbagai  permasalahan dan tantangan.

“Seminaris memainkan  peran penting  dalam  proses  sosialisasi, internalisasi da aktualisasi  prinsip solidaritas, dan dimulainya  dengan rancang  bangun kurikulum: substansi, metode/proses dan dukungan lingkungan pembelajaran,” pinta Prof Gabriel Lele.

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More