
Ketika ‘Laudato Si’ Diuji di Negeri Sendiri; Dimanakah Hati Gereja Berpijak?
Oleh Dr. Don Bosco Doho, Dosen Etika Bisnis pada LSPR Institute of Communication and Business, Jakarta
Laudato Si’ secara keras mengkritik “budaya sisa (throwaway culture)” di mana kita dengan mudah membuang barang, makanan, dan menciptakan sampah yang tak terkendali. Krisis sampah lokal adalah manifestasi paling nyata dari “budaya sisa” ini. Ensiklik ini juga menekankan pentingnya keindahan (via pulchritudinis) bagi jiwa manusia. Itu sebabnya, lingkungan yang kotor dan kumuh merampas kualitas hidup dan keindahan yang merupakan hak setiap orang, terutama kaum miskin yang tidak punya pilihan tempat tinggal. Hal ini sejalan dengan temuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang berulang kali mengaitkan manajemen sampah yang buruk dengan peningkatan risiko penyakit menular dan pernapasan, di mana kaum miskin menjadi korban utamanya.
Perlu diberi pertanyaan kritis tapi bukan menuduh untuk refleksi adalah “Mengapa energi profetik yang begitu besar untuk melawan ancaman geothermal seolah belum tersalurkan secara maksimal untuk memobilisasi umat dalam perang melawan sampah sehari-hari? Apakah jeritan bumi akibat plastik dan limbah domestik kurang nyaring dibandingkan deru mesin bor?”