
Ketika Identitas Menjadi Luka Sosial
Oleh Mathildis Amboysa Mamus, Mahasiswi STIPAS Ruteng
Untuk menyembuhkan luka sosial akibat identitas, dibutuhkan perubahan paradigma dalam masyarakat.
Pertama, kita harus meninggalkan cara pandang eksklusif yang menganggap identitas tertentu lebih unggul dari yang lain. Pendidikan multikultural perlu dikuatkan agar generasi muda terbiasa melihat keberagaman sebagai kekayaan, bukan ancaman.
Kedua, negara perlu hadir dengan kebijakan afirmatif yang memberikan ruang bagi kelompok rentan.
Ketiga, perlu ada ruang dialog antar-identitas yang terus dibangun. Luka sosial sering muncul karena prasangka dan stereotip yang diwariskan tanpa pernah diuji kebenarannya. Dialog lintas iman, budaya, dan kelompok sosial dapat menjadi medium untuk membangun saling pengertian.
Terakhir, setiap individu perlu belajar merangkul identitas dirinya dengan bangga tanpa harus merendahkan identitas orang lain. Kesadaran bahwa setiap identitas adalah bagian dari kemanusiaan universal dapat menjadi fondasi untuk melawan diskriminasi.
Meski luka sosial akibat identitas begitu nyata, selalu ada ruang untuk menyulam harapan. Sejarah menunjukkan bahwa diskriminasi bisa dilawan, dan luka sosial bisa dipulihkan. Gerakan hak-hak sipil di Amerika, perjuangan perempuan untuk hak pilih, hingga perjuangan masyarakat adat di berbagai belahan dunia, semuanya adalah bukti bahwa luka sosial tidak harus diwariskan selamanya.
