
Ketika Identitas Menjadi Luka Sosial
Oleh Mathildis Amboysa Mamus, Mahasiswi STIPAS Ruteng
Dalam konteks politik, identitas etnis dan agama sering dijadikan alat mobilisasi. Ketika politik identitas digunakan untuk meraih kekuasaan, ia menciptakan polarisasi sosial yang dalam. Akibatnya, luka sosial tidak hanya dirasakan individu, tetapi juga kolektif, karena membelah masyarakat ke dalam “kami” dan “mereka”. Polarisasi ini bisa diwariskan lintas generasi jika tidak ada upaya rekonsiliasi.
Luka sosial karena identitas bukan hanya masalah emosional, tetapi juga masalah struktural. Ia merusak rasa keadilan sosial yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa. Ketika kelompok tertentu merasa selalu menjadi korban diskriminasi, rasa memiliki terhadap negara perlahan terkikis. Hal ini dapat menciptakan ketidakpercayaan terhadap institusi publik, bahkan memicu konflik horizontal.
Rasa keadilan hanya bisa terwujud ketika semua identitas diakui dan diberi ruang partisipasi. Inklusi sosial menjadi kata kunci dalam menyembuhkan luka identitas. Inklusi bukan sekadar memberi “akses”, tetapi juga memberi kesempatan bermakna agar setiap orang dapat berpartisipasi dalam proses sosial, politik, dan ekonomi.