Ketika Identitas Menjadi Luka Sosial

Oleh Mathildis Amboysa Mamus, Mahasiswi STIPAS Ruteng

Fenomena ini terlihat jelas dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia. Keberagaman yang seharusnya menjadi kekayaan sering kali dijadikan alasan untuk menyingkirkan kelompok tertentu. Identitas agama, suku, gender, atau kondisi fisik justru menjadi pembatas kesempatan dan pintu masuk diskriminasi. Luka sosial lahir ketika identitas yang melekat pada diri seseorang dianggap sebagai alasan untuk menolak keberadaannya dalam ruang sosial, politik, dan ekonomi.

Banyak orang tidak pernah memilih identitasnya. Seseorang tidak bisa memilih lahir dari suku tertentu, memiliki warna kulit tertentu, atau lahir dengan disabilitas. Namun, fakta bahwa identitas itu tidak dipilih sering kali tidak menghapus diskriminasi. Misalnya, stigma terhadap penyandang disabilitas masih kental di banyak tempat. Mereka dianggap “beban” atau tidak produktif, padahal dengan akses yang memadai, mereka bisa berkontribusi sama besarnya dengan orang lain.

Demikian juga dalam konteks gender. Perempuan kerap kali ditempatkan pada posisi subordinat hanya karena identitas biologisnya. Luka sosial hadir ketika kesempatan pendidikan, kepemimpinan, dan pengambilan keputusan dibatasi. Identitas perempuan diperlakukan bukan sebagai kelebihan, melainkan sebagai “batasan” yang membungkam potensi.

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More