
Ketika Identitas Menjadi Luka Sosial
Oleh Mathildis Amboysa Mamus, Mahasiswi STIPAS Ruteng
IDENTITAS pada dasarnya adalah anugerah dan dalam konteks manusia, itu cerminan jati diri sekaligus konstruksi sosial. Kita lahir dengan identitas biologis tertentu, dibesarkan dalam lingkungan budaya, agama, bahasa, bahkan kelas sosial yang membentuk cara pandang kita terhadap dunia. Identitas memberi rasa keterikatan, makna, dan arah hidup. Namun, di sisi lain, identitas seringkali berubah menjadi pisau bermata dua: ia bias menguatkan solidaritas, tetapi juga bias menimbulkan luka sosial yang dalam ketika digunakan sebagai alat diskriminasi, stigmatisasi, dan marginalisasi, dan dikekang oleh Stereotip.
Stereotip adalah musuh besar yang bikin identitas jadi luka. Stereotip ini bikin identitas jadi kayak ‘kartu merah’ yang disorot terus-menerus, padahal cuma manusia biasa yang punya keunikan sendiri. Akhirnya, identitas ini bukan lagi sesuatu yang membanggakan, tapi malah bikin kita merasa terpenjara dalam stigma. Rasanya kayak nggak punya kebebasan buat jadi diri sendiri. Kalau terus-terusan kayak gitu, bisa bikin kita merasa rendah diri, nggak percaya diri, bahkan merasa nggak punya tempat di dunia ini dan merasa selalu dihantui stigma dan diskriminasi.