
Ketika Diam itu Dosa, dan Bersuara itu Ibadah
Oleh: Mathildis Amboysa Mamus, Mahasiswi STIPAS Ruteng
Di tengah dunia yang semakin pragmatis, di mana nilai diukur dengan uang dan kekuasaan, suara hati nurani adalah benteng terakhir kemanusiaan kita. Ia adalah pengingat bahwa kita bukan mesin ekonomi atau alat politik, tapi manusia — ciptaan Tuhan yang memiliki martabat tak tergantikan. Ketika kita kehilangan suara itu, kita kehilangan jiwa kita. Ketika kita membungkamnya, kita membunuh keilahian dalam diri kita.
Maka, biarlah suara hati nurani kita terus bergema — meskipun itu membuat kita tidak populer, tidak nyaman, atau bahkan dikucilkan. Biarlah ia menuntun kita untuk berpihak pada yang lemah, membela yang teraniaya, dan menentang yang lalim — tanpa kebencian, tanpa kekerasan, tapi dengan cinta yang berani. Seperti kata Oscar Romero, uskup martir El Salvador: “Kristus tidak memanggil kita untuk menjadi sukses, tapi untuk setia.” Setia pada suara hati nurani. Setia pada keadilan. Setia pada kebenaran. Dan harus memiliki keberanian untuk bersuara dapat menjadi ibadah. Mengapa? Karena ibadah sejati tidak hanya sebatas doa, ritual, atau nyanyian rohani, tetapi juga tindakan nyata yang membela kebenaran dan martabat manusia. Suara yang lantang menolak ketidak-adilan adalah bentuk doa dalam tindakan.