Ketika Diam itu Dosa, dan Bersuara itu Ibadah

Oleh: Mathildis Amboysa Mamus, Mahasiswi STIPAS Ruteng

Sayangnya, di zaman ini, suara hati nurani justru semakin langka. Kita hidup di era informasi, tapi miskin keberanian moral. Kita tahu banyak, tapi peduli sedikit. Kita bisa menyebarkan berita ketidakadilan dalam hitungan detik, tapi enggan turun ke jalan atau menandatangani petisi. Kita mengutuk korupsi di media sosial, tapi diam ketika atasan kita melakukan praktik suap. Kita mengeluh tentang ketimpangan sosial, tapi enggan menyumbang atau berbagi dengan yang lebih membutuhkan. Kita punya hati nurani, tapi kita membiusnya dengan hiburan, konsumerisme, dan kepentingan pribadi.

Mengapa kita takut mendengarkan hati nurani? Karena suara itu menuntut tanggung jawab. Ia tidak hanya membuat kita “tahu”, tapi juga “bertindak”. Ia tidak hanya membuat kita “merasa bersalah”, tapi juga “berubah”. Dan perubahan itu menyakitkan. Ia menuntut pengorbanan. Ia menuntut risiko. Ia menuntut kita keluar dari zona nyaman. Lebih mudah mematikan suara itu daripada mengikutinya.

Tapi ingatlah: ketika kita mematikan suara hati nurani, kita bukan hanya mengkhianati sesama, tapi juga mengkhianati diri sendiri. Kita kehilangan jiwa kita. Kita menjadi robot sosial yang patuh pada sistem, tanpa jiwa. Seperti kata Albert Einstein: “Dunia tidak akan hancur oleh orang jahat, tapi oleh mereka yang membiarkan kejahatan terjadi.” Diam di hadapan ketidakadilan adalah bentuk kejahatan pasif — kejahatan yang lebih halus, lebih terselubung, tapi sama mematikannya.

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More