Ketika Diam itu Dosa, dan Bersuara itu Ibadah

Oleh: Mathildis Amboysa Mamus, Mahasiswi STIPAS Ruteng

Namun, suara hati nurani sering kali dibungkam. Dibungkam oleh rasa takut, kenyamanan, tekanan sosial, ancaman politik, atau bahkan oleh dogma agama yang salah kaprah. Kita diajarkan untuk “jangan ikut campur urusan orang lain”, padahal Yesus justru turun ke jalan, menyentuh orang kusta, membela perempuan yang hendak dirajam, dan mengusir para pedagang dari Bait Allah. Kita diajarkan untuk “hormati penguasa”, padahal para nabi justru menegur raja dan imam yang korup. Kita diajarkan untuk “jangan ribut”, padahal Injil justru penuh dengan kegaduhan moral — kegaduhan yang lahir dari cinta yang mendalam terhadap keadilan.

Suara hati nurani yang menuntut keadilan bukanlah suara yang nyaman. Ia sering kali membuat kita gelisah, tidak tenang, bahkan dianggap “mengganggu”. Ia membuat kita tidak bisa tidur nyenyak ketika melihat anak-anak kelaparan di pinggir jalan. Ia membuat kita tidak bisa diam ketika mendengar pejabat korup tertawa di televisi. Ia membuat kita tidak bisa ikut pesta ketika tetangga kehilangan rumah karena digusur paksa. Suara itu mengganggu, tapi justru di situlah letak kesuciannya. Karena keadilan tidak pernah lahir dari kenyamanan, melainkan dari kegelisahan suci yang tak mau berdamai dengan ketidakadilan. Dalam sejarah, suara hati nurani selalu menjadi pemicu perubahan besar.

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More