Ketika Diam itu Dosa, dan Bersuara itu Ibadah

Oleh: Mathildis Amboysa Mamus, Mahasiswi STIPAS Ruteng

ADA sebuah keheningan yang lebih mengerikan daripada dentuman meriam. Ada sebuah kebisuan yang lebih kejam daripada teriakan amarah. Itu adalah keheningan di hadapan ketidak-adilan. Ketika kita memilih diam, padahal hati nurani berteriak; ketika kita menunduk, padahal kebenaran menuntut kita berdiri; ketika kita pura-pura tidak tahu, padahal penderitaan orang lain menjerit di depan mata — saat itulah kita bukan lagi penonton netral, melainkan kaki tangan ketidakadilan itu sendiri.

Dalam kehidupan sosial, kita kerap dihadapkan pada dua pilihan moral: diam atau bersuara. Ada situasi dimana memilih diam dianggap bijaksana, demi menjaga harmoni dan menghindari pertikaian. Namun, ada pula keadaan ketika diam justru menjadi dosa, karena berarti membiarkan ketidakadilan berlanjut tanpa perlawanan. Sebaliknya, keberanian untuk bersuara dapat menjadi bentuk ibadah—suatu pengorbanan demi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.

Suara hati nurani adalah suara Tuhan yang berbisik dalam relung jiwa manusia. Ia bukan sekadar perasaan atau emosi sesaat, melainkan hakim batin yang mengingatkan kita akan kebenaran, keadilan, dan martabat kemanusiaan. Dalam tradisi filsafat dan teologi, hati nurani disebut sebagai “lex inscripta” — hukum yang tertulis dalam hati setiap manusia, bahkan sebelum hukum negara atau agama lahir. Ia adalah kompas moral yang diberikan Tuhan agar manusia tidak tersesat dalam rimba kepentingan, kekuasaan, dan keserakahan.

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More