
Kebohongan yang Membara; Ketika Energi “Bersih” Dicemari Lewat Kata-Kata
Oleh Pascual Semaun, SVD , Coordinador Pastoral Social de la Diócesis de Canindeyú, Paraguay
Pesan-pesan seperti “energi bersih”, “solusi perubahan iklim”, atau “proyek ramah
lingkungan” disampaikan dengan harapan menghasilkan respons yang sesuai:
penerimaan dan persetujuan.
Model ini berpijak pada prinsip stimulus–respon, seperti dalam psikologi perilaku. Namun kenyataannya, masyarakat tidak selalu merespons
seperti yang diharapkan. Sebaliknya, banyak komunitas lokal justru mulai menyadari
adanya manipulasi melalui bahasa.
Bahasa sebagai Wilayah Perjuangan
Akhir-akhir ini, tokoh-tokoh adat, petani, dan warga kampung di banyak daerah di
Flores dan beberpa daerah lain di Indonesia mulai menyadari bahwa perlawanan tidak
hanya terjadi di medan fisik, tetapi juga dalam medan bahasa. Mereka menolak
istilah-istilah teknokratik yang tidak mencerminkan kenyataan di lapangan. Mereka
mulai membangun narasi sendiri yang lebih jujur dan dekat dengan kehidupan mereka.
Ungkapan seperti “satu sakit, katong semua sakit” dan “nai ca anggit agu tuka ca
leleng” bukanlah sekadar pepatah atau ungkapan adat. Ia merupakan pernyataan
politik yang kuat, yang menyuarakan rasa senasib, solidaritas, dan perjuangan lintas
budaya serta lintas batas geografis. Seperti dikatakan filsuf politik Jacques Rancière,
politik yang sejati dimulai ketika mereka yang selama ini dianggap “tidak layak bicara”
mulai menuntut hak untuk menyuarakan pengalaman mereka dan mendefinisikan
dunia dari sudut pandang mereka sendiri.