Tetapi bila arogansi politik jenis ini berpotensi konflik horisontal, maka pencitraan bukan jurus yang jitu. Sebagai warga Lembata diaspora, saya melihat sebuah ketergesahan yang minus pertimbangan rasional. Pasalnya, pasca berpulangnya almarhum Bupati Yance, sontak semua harapan bercorak memaksa dialamatkan kepada Plt. Bupati Lembata Thomas Ola Langoday untuk segera mengubah wajah Lembata dalam kurun waktu sepuluh bulan.
Miris memang, karena di tengah suasana duka yang masih meliputi satu Lembata, seorang sosok Thomas Ola harus dipaksa mengobati pihak – pihak yang sakit hati. Sebuah pertimbangan yang tergolong makar intelektual. Tidak berhenti di situ, keserakahan politik menghembuskan isu – isu murahan, mempresentasikan dikotomi para figur tanpa peduli akurasi proses sebuah demokrasi. Menjadi tontonan menarik media sosial, karena para fanatik politik dan figur selalu kebakaran jenggot manakala pakar atau pemula politik secara usil mendendangkan lagu provokatif melukai figur yang dikultuskan. Solusi menjadi buntu karena perang media menjadi cara yang bukan solusi. Fenomena yang sedang merobek peradaban politik Lembata ini adalah potret bugil minusnya edukasi dan kedewasaan politik. Pencitraan adalah salah satu produk unggulan berpolitik, tetapi pencitraan harus optimis, welcome dan santun dalam dialektika politik.