“Nana, saya selalu perlakukan benih jagung itu secara khusus dalam semacam ritual wuat-wini.” “Bagaimana maksudnya mama?” tanya saya. “Ketika musim tanam tiba, saya selalu “berbicara” kepada benih-benih itu dan mengatakan kepada benih-benih itu agar mereka bisa bertumbuh cepat dan juga cepat berbuah dan menjadi matang karena anakku yang laki-laki akan segera pergi ke tempat yang jauh dan mungkin tidak akan sempat menikmati ritual makan jagung bersama-sama pada saat panen raya.”
Saya menjadi bingung dan juga sangat terharu karenanya. “Nak, dengan doa ritual wuat-wini seperti itu, mama pun menanam jagungnya.” “Nana Frans, itu sebabnya, sebelum akhir Januari (saat masa panen raya tiba), kita sudah bisa memakan jagung yang sudah matang duluan karena sudah diantisipasi oleh saya dengan cara yang khusus seperti itu.”
Sebuah Kilas Balik
Setelah tiba di Kisol saya coba kilas balik dan ingat kembali apa yang terjadi setahun sebelumnya. Dan dalam kilas balik, saya juga ingat bahwa setahun sebelumnya, yaitu pada awal tahun 1974 kami juga sudah makan jagung pada pertengahan Januari. Itu karena ternyata mama juga sudah melakukan ritual itu pada akhir Oktober 1973 karena pada awal Januari 1974 anak putrinya yang sulung, untuk pertama kalinya pergi jauh meninggalkan kami semua. Saya masih ingat, betapa mama kuat dan tegar mengantar kakak Sin sampai wa mbarud dise Pius Pa yang terletak di dekat Wae Teku Ketang. Setelah itu kakak Sin berangkat terus ke Ruteng bersama bapa. Mama sama sekali tidak menangis. Saya kagum. Tetapi pada sore hari itu, saya lihat dia menangis karena kepergian putri sulungnya yang selama ini selalu setia dan rajin membantu dia.