Karakter ini memudahkan Pater Kurt masuk dalam kehidupan mereka. Dia mencintai inkulturasi dalam gereja. Dia menginginkan liturgi yang berwajah budaya dan pengungkapan iman yang berwajah lokal. Salah satu muridnya, Dr. Watu Yohanes Vianey menulis: “RP Kurt membangun Kapela Were dengan pendekatan inkulturasi yang progresif. Ia membuat meja altar dari nabe meze atau bahan air berkat diambil dari ritus kela
nio“.
Saya ingat satu kesempatan sidang pastoral keuskupan di Kemah Tabor, Pater Kurt pernah membawakan khotbah menarik dengan tema inkulturasi. Pater Kurt adalah misionaris Eropa yang paling sering menggunakan busana adat Ngada dalam perayaan ekaristi. Saya sempat menyaksikan sendiri dalam beberapa perayaan liturgi. Kita bisa menyaksikan foto-foto beliau di media sosial.
Pater Kurt menghidupi spiritualitas SVD di Mataloko. Mataloko harus tetap menjadi “Stadt Gottes atau Kota Allah“. Stadt Gottes ini saya ambil dari nama majalah yang terbit pertama di Steyl tanggal 6 Januari
1878. RP. Arnold Janssen selalu mengingatkan para misionaris untuk terus merangkul umat pelayanan menjadi satu keluarga Allah. Stadt Gottes atau Kota Allah itu terwujud ketika Sabda Allah hidup di sana
dan Allah hidup dalam hati orang-orangnya.