RP. Kurt Frans Bard SVD: Warga “Stadt Gottes“ Mataloko
Desember 1967 RP. Kurt diutus ke seminari Mataloko.Selama 20 tahun Pater Kurt mengabdi di Seminari Mataloko. Sisanya dia mengabdikan diri di Kemah Tabor. Kurang lebih 55 tahun Pater Kurt menjadi Hoga Sasa atau warga lembah Sasa. Mengapa RP. Kurt menghabiskan lebih dari setengah usia hidupnya di lembah Sasa? Mengapa Mataloko menjadi tanah air terakhir, tempat raganya dimakamkan ? Saya tak tahu persis.
Dari sisi cuaca, Mataloko mirip Theley, kampung halamannya P. Kurt. Curah hujannya baik. Alamnya sejuk meski sering ditutup kabut tebal dan udara dingin. Mataloko adalah “Theley in Flores“. Theley in Flores
dengan tiga ikon bangunan bergaya arsitektur Eropa: Gereja Paroki Mataloko, Seminari Menengah St. Yohanes Berkhmans dan Kemah Tabor Mataloko. Di kemah Tabor, RP. Kurt menata rumah, taman dan kebun
seperti di negeri asalnya Eropa.
Dari sisi topografi, Mataloko tak jauh berbeda dengan Theley. Bukit Sasa dan Pore di utara, deretan perbukitan Wolo Roja, Wolo Beo, Roba Mopa dan Siu Toro ke arah Doka dan Were, bukit Sara dan Gunung Ebu Lobo di sebelah Timur Mataloko rupanya mengingatkan Pater Kurt akan gunung Schaumberg di kampungnya. Schaumberg memiliki ketinggian 568 meter. Sedikit lebih tinggi dari bukit Sasa.