Dalam keseimbangan baru itu, manusia diundang untuk melakukan pembaruan kontrak dengan semesta agar lebih mampu bekerja sama dengan alam.
Dalam tradisi manusia sendiri, kedekatan dengan alam pernah terbangun dengan manis. Manusia melihat makhluk lainnya sebagai organisme, yakni organ yang memiliki jiwa.
Karena berjiwa, mereka diperlakukan dengan hormat dan disapa dengan hormat pula. Lambat laun, manusia mengisolasi diri dari pergaulan semesta.
Sumber utama sikap tersebut adalah pendirian rasional yang melihat bentuk-bentuk komunikasi dengan semesta sebagai tahyul, anti akal sehat, kemunduran, dan label negatif lainnya. Mereka melupakan semesta yang gemar bercanda untuk mengajak kita tetap bersahabat.
Mungkin baik kita merefleksikan ucapan McCarten dari pernyataan penutupnya dalam dialog di Munchen itu, sebagai berikut: “lelucon menghubungkan kita semua, merengkuh kita menjadi satu.
Jika kita bisa tertawa bersama, maka kita juga bisa hidup bersama. Lelucon bukan hal sepele. Ketika anda membuat orang lain tertawa, anda menyuntikkan harapan, mendekap erat orang yang merasa asing, menghapus kegalauan.
Kualitas seperti itu menjadikan humor sebagai pilihan terapi untuk berbagai penyakit.
Kualitas yang demikian itu menempatkan humor sebagai salah satu pilihan terapi untuk berbagai jenis penyakit.
Namun, kontras dengan penggalan kebudayaan semacam itu, studi-studi psikologi secara meyakinkan menaruh humor dalam jajaran tertinggi sikap mental positif manusia.
, humor lebih didambakan daripada kepintaran.