Membaca adalah investasi. Semakin banyak buku bermutu yang dibaca oleh para guru, maka peluang untuk menyebarkan ide-ide berkualitas baik kepada peserta didik maupun kepada masyarakat pada umumnya melalui media tulisan, semakin terbuka lebar. Dengan demikian, para guru tidak hanya mengandalkan ‘buku teks’ yang perspektifnya amat terbatas. Sebaliknya, para guru bisa meramu materi ajar melalui telaahan yang kritis terhadap buku-buku yang dibacanya.
Itu berati membaca saja tidak cukup. Setelah sekian banyak buku yang dibaca, para guru mesti membuat elaborasi dan refleksi kritis untuk disebarkan kepada khalayak pembaca dan terutama kepada peserta didik. Para guru akan semakin aktif dalam aneka forum diskusi dan menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka di ruang-ruang kelas. Jadi, sekali lagi, ruang kelas menjadi lokus persemaian peradaban, bukan hanya materi pelajaran. Ungkapan ‘membaca itu menabung dan menulis itu beramal’, tentu tidak jauh dari kebenaran.
Sampai di titik ini, pertanyaan kita adalah mengapa dalam kenyataannya para guru ‘tak tertarik’ untuk menekuni dunia menulis? Mengapa untuk mengerjakan hal-hal administratif dalam pembelajaran yang dibuat dalam bentuk tulisan, pada umumnya dikerjakan dengan baik oleh para guru, tetapi untuk menulis demi memperbaiki peradaban literasi, tidak banyak guru yang terpanggil?
ini artikel terkeren yang saya pernah datangi, membahas tentang dunia sangat infromatif…recommended banget untuk kalian.. terima kasih admin.. sukses selalu