Gelar Haji Bukan Mahkota, Tapi Amanah: Menjawab Harapan Masyarakat

(Refleksi Ganda Sebagai Jamaah & Petugas Haji Daerah/PDH )

Dalam pemahaman kami, sebenarnya tiga harapan mulia inilah yang harusnya menjadi “kompas” nyata bagi kemabruran haji kita semua; suatu perspektif pemaknaan Ibadah haji secara filosofis. Sebagai sesama jamaah haji 2025, baik yang reguler maupun sebagai petugas haji, mari kita renungkan bersama : bagaimana pengalaman ganda kami dan seruan dari Reo ini, (sebuah kota kecil yang hampir tidak terlihat di peta Nasional), namun  bisa menjadi cermin bagi tanggung jawab kolektif kita pasca kembali dari Baitullah?

Gelar Haji Bukan Mahkota, Tapi Amanah : Menjawab Harapan Masyarakat
Penulis sekaligus Petugas Haji  Daerah / Nurdin

 

Lensa Ganda : Menyaksikan Esensi dan Tantangan di Tanah Suci

Sebagai PHD, kami berdiri di posisi unik. Di satu sisi, hati ini larut dalam kekhusyukan saat wukuf, tawaf dan sa’i sebagai hamba Allah. Di sisi lain, mata dan telinga ini terbuka lebar menyaksikan dinamika jamaah; juga sikap antisipasi melayani dan jiwa empati yang harus terus selalu dijaga. Beberapa pemanaan penting yang menjadi esensi perhatian kami antara lain :

  • Kesetaraan yang Menyentuh : Kain ihram putih benar-benar menghapus sekat. Di hadapan Ka’bah, semua sama; pejabat, petani, guru, nelayan. Tak ada gelar duniawi yang berarti. Inilah pesan abadi; Haji mengajarkan kesetaraan mutlak di hadapan Sang Pencipta. Allah berfirman “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti”(QS. Al-Hujurat: 13). Gelar “Haji / Hajah” yang kemudian disematkan seharusnya mengingatkan kita pada kesetaraan ini, bukan menciptakan hierarki baru, yang menjauhkan kita dari kepekaan, perhatian, dan peduli pada sesama.
  • Spiritualitas yang Mendalam : Menyaksikan jutaan manusia menangis tulus memohon ampunan di Arafah, bersimpuh di Multazam, atau berdesakan penuh kesabaran saat tawaf dan melontar jumrah, adalah pengalaman spiritual yang tak terlupakan. Wukuf adalah pengadilan kecil sebelum Pengadilan Akbar, mengingatkan bahwa hanya rahmat dan ampunan Allah yang kita harapkan. “Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu (pada musim haji). Apabila kamu bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masyarilharam. Berzikirlah kepada-Nya karena Dia telah memberi petunjuk kepadamu meskipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat” (QS. Al-Baqarah: 198).
  • Girah Lansia yang Menginspirasi : Sungguh suatu pengalaman yang mengharu biru nurani, ketika menyaksikan dan membersamai perjuangan para jamaah haji terutama yang lanjut usia (lansia) di tanah suci. Semangat dan kegigihan mereka yang pantang menyerah karena dilandasi keyakinan dan kecintaannya pada syariat yang telah diwariskan Rasulullullah SAW. Para Lansia dan juga jamaah lain yang harus berjuang melawan keterbatasan fisik mereka, berjibaku di antara para jamaah yang relative lebih kuat dan berotot, hanya demi memenuhi syarat dan rukun haji secara tertip. Karena memang sejatinya ibadah haji adalah ibadah yang lebih membutuhkan ketahanan fisik yang lebih. Realitas jumlah dan komposisi jamaah lansia khususnya jamaah haji Indonesia, memang terus meningkat setiap tahunnya. Bidang Layanan Lansia dan Disabilitas PPIH Arab Saudi mengonfirmasi jumlah jamaah haji lanjut usia adalah 47.384 orang dari kuota reguler 203.320 jamaah atau 23,30 persen. Jumlah tersebut lebih tinggi ketimbang tahun 2024 dengan jamaah lansia 21,41 persen atau 45.678 orang (NU Online, 2025). Hal ini harus dicarikan solusi terbaik dalam kebijakan pemerintah ke depannya, demi kemaslahatan dan kemabruran haji para jamaah lansia tentunya. Jangan sampai tingginya kasus jamaah lansia yang meninggal di tanah suci, menjadi bagian dari obsesi jamaah lansia ke tanah suci karena akan mengaburkan niat suci untuk mencapai predikat haji yang mabrur. Meskipun keinginan untuk meninggal di tanah suci adalah hal yang umum, namun penting untuk diingat bahwa kematian adalah takdir yang telah ditentukan Allah, SWT.
  • Tantangan “Gelar” yang Mengintai : Namun, kami juga menangkap percikan “dunia” yang menyelinap. Ada sikap yang mulai berubah di kalangan sebagian kecil jamaah haji, seakan gelar sudah melekat sejak dari Tanah Air. Obsesi dokumentasi terkadang mengganggu kekhusyukan. Ini menjadi peringatan bagi kita semua; karena kesempatan berhaji itu adalah kesempatan yang sangat langka, bahkan mungkin sekali dalam seumur hidup kita. Maka jangan biarkan perjalanan suci ini terkontaminasi niat untuk pamer status sosial atau pun niat lainnya, selain untuk lebih intim terkoneksi jiwa kita dengan Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW mengingatkan kita : “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya…” (HR. Bukhari-Muslim).
Gelar Haji Bukan Mahkota, Tapi Amanah : Menjawab Harapan Masyarakat
kegiatan calon haji sebelum berangkat ke Tanah Suci Mekkah. Foto istimewa.
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More