
Forum Negara Pancasila Pak Tedjo dan Masa Lalu yang Selalu Aktual
Bernadinus Steni, Pegiat standar keberlanjutan. Tinggal di Jakarta
Hal-hal kecil itu pula yang terlewatkan di forum mingguan itu. Meski gaduh, FNP jauh dari humor. Forum yang lantang, namun sepi tanpa gelak tawa. Dia hadir sebagai memo dari konfigurasi politik masa itu yang fakir candaan.
Banyak kesempatan tanya jawab digunakan Pak Tejdo untuk menyisipkan doktrin utama Orde Baru: anti-komunis dan kontrol ketat terhadap kebebasan berekspresi a.k.a “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen”. Bukan Pancasila edisi KW, tapi otot kawat tulang besi.
Pada suatu waktu pak Tedjo secara tegas menolak pers yang mengkritik tanpa tedeng aling aling kebijakan pemerintah Soeharto. Perilaku itu, kata Tedjo bukanlah watak Pancasilais.
Karena Pancasila adalah refleksi budaya kita yang santun. Kritik haruslah santun. Yang muda permisi ketika mengkoreksi yang tua. Yang salah tidak boleh disoraki. Kepentingan umum diutamakan, dan rupa macam tata krama lainnya.
Saya agak sulit membayangkan implikasi praktisnya, tiap kali kritik harus permisi. Apalagi masa itu tidak ada aplikasi WA, Line, dan sejenisnya yang bikin permisi amat mudah dan mubazir, lengkap dengan rupa macam emoticon unyu.