
Dari struktur moralitas manusia pra pencerahan ada tiga; pertama, struktur moralitas manusia seadanya (man-as-he-happens-to-be). Kodrat manusia yang masih kasar atau masih mentah. Ia belum mencapai potensialitas atau tujuan yang sebenarnya.
Kedua, manusia yang mungkin seandainya ia mencapai telos-nya, tujuannya, potensialitasnya (man-as-he-could-be-if-he-realised-his-essential-nature). Ketiga, perintah-perintah moral (etika) menjadi ilmu yang memberi jalan bagi manusia untuk beralih dari manusia seadanya menjadi manusia yang mencapai potensialitasnya. Ia mencapai kesempurnaan menurut kodratnya (3).
Cara pandang tiga unsur tersebut telah memberikan pendasaran rasional akan tuntutan-tuntutan etika dan moral yakni menjadikan manusia mampu untuk beralih dari keadaan biasa ke tujuan-tujuan yang benar. Menjawab pertanyaan mengapa tindakan yang satu baik dan lain moral, mengapa orang berkewajiban moral, dan apakah makna keutamaan itu.
Proyek pencerahan justru meniadakan unsur teleologis tersebut. Proyek pencerahan menolaknya karena ia memiliki muatan metafisika yang menjadi dasarnya, yakni keyakinan pada Tuhan, kepercayaan pada harmoni alam, dan keyakinan pada kodrat manusia. Padangan ini dalam proyek pencerahan tidak rasional, karena metafisika tidak dapat dibuktikan. Metafisika teleologis ini ditolak karena filsafat modern mengikuti empirisme dan saintisme. Ia menghilangkan kemampuan mencapai teleologi. Pencerahan juga menolak teologi Katolik dan Protestan hingga teori hukum kodrat Thomas Aquinas. Sementara dalam etika keutamaan, teleologis ini justru menjadi tujuan internal di mana setiap makluk moral mengarahkan dirinya. Penolakan teleologi artinya melawan upaya manusia untuk mencapai aktualisasi dirinya.