
Esensi Pers Sebagai Pilar Keempat Demokrasi, Jurnalisme Terlibat dan Voice for the Periphery
Oleh Walburgus Abulat (Jurnalis, Penulis Buku, dan Pernah Dipercaya Kantor Bahasa NTT Menjadi Fasilitator Kegiatan Literasi dan Bengkel Bahasa di Kabupaten Sikka)
Konsep demokrasi yang menempatkan pers sebagai kekuatan keempat ini berlaku di semua negara demokrasi saat ini, termasuk Indonesia, meski dalam praktiknya masih dijumpai ada pembatasan-pembatasan yang dijumpai di setiap negara yang menerapkannya.
Seraya merefleksikan pers sebagai pilar keempat demokrasi itu, kita pun disegarkan dengan pandangan Bill Covack & Tom Resenstiel yang secara eksplisit menyebut 10 elemen jurnalisme sebagai panduan untuk menghasilkan berita yang bagus dalam perannya sebagai pilar keempat demokrasi yang meliputi taat pada kebenaran, loyalitas, disiplin dalam melakukan verifikasi, independensi, memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas, jurnalisme sebagai forum publik, jurnalisme harus memikat dan relevan, berita harus proporsional dan komprehensif, mendengarkan hati nurani, dan warga kian terlibat dalam proses produksi konten jurnalistik melalui interaksi di media digital.
Hemat saya, panggilan profesi menjadi seorang jurnalis harus menjadi panggilan yang memiliki nilai plus. Seorang jurnalis mesti memiliki kualitas lebih, yang tidak sekadar memiliki keahlian untuk menulis berita langsung/straight news dan feature yang berkutat rumusan 5 W (who, what, when, where, why) dan 1 H (how), tetapi lebih dari itu karya jurnalistik dan tentu jurnalisnya harus mumpu menjadi mediasi dan terlibat dalam aksi kemanusiaan yang membebaskan kaum terpinggir (voice for theperiphery menjadi manusia yang memiliki hak-hak yang sama seperti kaum kebanyakan lainnya.