DPR: Mosa Oa Daki Pai, Mosa Ata Pidi, Daki Ata Ti’i
Oleh Dionisius Ngeta, Staf YASBIDA Cabang Sikka, Tinggal di Maumere
Masyarakat dan aktivitasnya melahirkan politik dan demokrasi (mosa pu’u, daki mudu). Wajar, bila politik, demokrasi dan kandidat Kepala Daerah, Presiden dan DPR diperbincangkan masyarakat. Tanpa masyarakat, tidak ada politik dan demokrasi. Juga tidak ada kedaulatan dan yang didaulatkan/dimandatkan. Jabatan, kekuasaan, hak dan wewenang mereka ada DARI, OLEH, dan UNTUK masyrakat. Masyarakat adalah tuan atas demokrasi, pemilik kedaulatan (mosa pu’u). Maka mereka datang, menemui bahkan terbuka meminta atau mengemis dukungan agar mendapatkan mandat dan kepercayaan masyarakat. Foto-foto para caleg yang menghiasi halaman media, kartu-kartu nama yang beredar luas, gambar dan baliho yang terpajang di mana-mana dengan kata-kata mohon dukungan adalah cara “mengemis” dukungan dan membuktikan bahwa masyarakat sesungguhnya pemilik dan pemegang kedaulatan itu (mosa mudu, daki pu’u).
“Mosa Ti’i, Daki Pati”
Eksistensi para legislator (yang akan terpilih), lalu memiliki kekuasaan dan wewenang tertentu (legislasi, buggedting, monitoring/pengawasan) merupakan sebuah eksistensi yang terberi (mosa ti’i, daki pati) dalam perspektif bapak tersebut. Meminta (oa-pai) atau mengemis (Rocky Gerung) dukungan masyarakat dalam berbagai bentuk dan cara merupakan hal yang mutlak agar kedaulatan bisa dimandatkan, lalu memiliki kehormatan karena menduduki posisi/jabatan itu, kemudian mendapatkan kekuasaan, pengaruh dan peran peran-tugas tertentu. Mereka dihormati dan secara konstitusi eksistensinya diakui. Mereka sering disapa: “mosa daki/mosa laki” (yang terhormat). Tetapi “mosa ti’i, daki pati” (kehormatan yang diberi) untuk melaksanakan mandat rakyat. Atau pesuruh dan “anjing” masyarakat di Parlemen untuk menggonggong pemerintah dan kepentingan masyarakat, menurut Rocky Gerung.