Dosen Berjihad dan Beritjihad Bersama BRIN Demi Indonesia

Oleh Hendrikus Maku, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ungkapan tersebut tidak lagi relevan untuk para filolog yang tekun mengkaji naskah-naskah Nusantara. Para filolog berpandangan bahwa naskah Nusantara merupakan produk tradisi yang melibatkan berbagai keterampilan dan sikap budaya – naskah mengandung kekayaan informasi yang berlimpah dan bahwa isi naskah tidak terbatas pada kesusastraan tetapi mencakup berbagai bidang lain seperti agama, sejarah, hukum, adat, obat-obatan, teknik, dan lain-lain (baca,

Henri C. Loir dan Oman Fathurahman, Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-naskah Indonesia Sedunia, Jakarta: Obor, 1999). Kendati demikian, dalam beberapa kesempatan webinar, masih saja ada para pihak yang meragukan urgensitas dari kajian filologi, khususnya di era disrupsi.

Merespons keraguan terhadap filologi, penulis berpandangan bahwa manuskrip adalah sebuah titik tolak dalam menatap masa depan dan merawat masa silam.

Sebagai bagian dari sejarah, manuskrip bisa dimaknai sebagai sebuah jembatan penghubung antara masa lalu dan masa kini, dan serentak sebagai penunjuk arah perubahan ke masa depan. Khazanah intelektual yang terekam di dalam manuskrip memiliki beberapa manfaat yakni edukatif, instruktif, dan inspiratif.

BACA JUGA:
Membangun Politik Sehat Menyambut Pilkada 2024
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More