Tapi, disko berfasilitas bisnis untuk memperkerjakan orang dan menjadikan salah satu sumber pundi-pundi pendapatan. (Misalnya, di era kejayaan disko, pendapatan dari music disko di Amerika Serikat sebesar AS$4 miliar pertahun dari sekitar 15.000 diskotek (The New York Times, December 10, 2002). Di Indonesia, khususnya di DKI Jakarta ada 1.322 tempat hiburan, kelab malam dan diskotek. Jumlah itu dibagi menjadi 24 varian, diantaranya ada 75 lokasi special diskotek (detikNews, Seni, 17 Juni 2013).
Selain disko juga ada joget, dangdut dan dansa (dansa bermula dari seni tari tango milik rakyat Argentina). Tari-tarian lokal-daerah pun tak ketinggalan dibawakan dalam memeriahkan pesta. Semuanya bermaksud menghibur diri sendiri, para penonton, keluarga dan ‘yubilaris’. Sesekali hadirin menertawakan goyangan kocak dari penggemar tari tertentu atau sekelompok anak kecil menari-nari “aneh” bikin suasana menggemparkan.
Sejenak, aku menerawang pada sosok kakek dan nenek yang menyaksikan disko. Lelaki tua diam seribu bahasa. Ia bergumam gelisah akan penetrasi kultur yang cepat bagai angin badai. Aku mereka-reka gumamnya: