
Dari Pinggiran ke Panggung: Mewujudkan Indonesia Inklusif 2045
Oleh Maria Nogo Kelodo, Mahasiswi STIPAS St. Sirilus Ruteng
Kedua, perlu ada pendekatan kebijakan yang spesifik per wilayah. Apa yang berlaku di Jakarta atau Surabaya mungkin kurang relevan di Papua atau Nusa Tenggara Timur. Strategi inklusi harus sensitif terhadap konteks lokal: kondisi geografis, budaya, bahasa lokal, status ekonomi, dan identitas masyarakat adat harus menjadi bagian dari solusi, bukan dianggap sebagai hambatan.
Ketiga, partisipasi warga negara yang selama ini terpinggirkan harus dijadikan pusat dari proses pengambilan kebijakan. Bukan hanya sebagai objek survei, tetapi sebagai subjek yang aktif bersuara, menyusun solusi, dan mengevaluasi jalannya program. Misalnya, dalam penelitian inclusive development untuk disabilitas ditemukan bahwa ketika orang dengan disabilitas berperan dalam rancangan kebijakan kota ramah disabilitas, hasilnya lebih praktis dan sesuai kebutuhan lokal.
Keempat, penguatan lembaga pengawas dan mekanisme akuntabilitas adalah kunci agar komitmen inklusi tetap berjalan. Transparansi dalam data—misalnya data jumlah penyandang disabilitas, penerimaan kerja, akses pendidikanharus dihadirkan agar publik bisa memantau apakah kebijakan inklusif benar-benar dilaksanakan atau sekadar jadi dokumen di atas meja.