
Dari Pinggiran ke Panggung: Mewujudkan Indonesia Inklusif 2045
Oleh Maria Nogo Kelodo, Mahasiswi STIPAS St. Sirilus Ruteng
Dalam banyak kasus, regulasi sudah ada, tetapi implementasi belum sampai ke akar rumput. Misalnya, undang-undang tentang disabilitas mensyaratkan penyediaan aksesibilitas fisik dan pelayanan publik yang responsif, tetapi survei menunjukkan bahwa fasilitas publik yang ramah disabilitas, seperti ramp, trotoar yang dapat dilalui kursi roda, atau informasi braille, masih sangat sedikit, terutama di daerah terpencil.
Akibatnya, walau ada peningkatan kesadaran, banyak penyandang disabilitas—termasuk mereka yang tinggal di desa dan wilayah terpencil—masih mengalami diskriminasi struktural yang menghalangi mobilitas sosial, akses pendidikan, dan partisipasi pada pekerjaan formal. Data dari penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja untuk penyandang disabilitas jauh lebih rendah dibanding non-disabilitas.
Demikian pula, kesetaraan gender tetap menjadi tantangan. Studi “The Femininomenon of Inequality” (2024) menunjukkan bahwa meskipun skor Indeks Pemberdayaan Gender dan Indeks Ketidaksetaraan Gender membaik secara nasional dari tahun ke tahun, daerah-daerah di luar Jawa dan Sulawesi menunjukkan kesenjangan yang jauh lebih tajam. Di daerah-daerah tersebut, perempuan masih menghadapi hambatan besar dalam akses pendidikan, pekerjaan formal, dan suara dalam posisi kepemimpinan pemerintahan lokal. Hal ini menunjukkan bahwa capaian inklusi belum merata; daerah dengan kondisi geografis sulit, ekonomi lemah, atau organisasi pemerintahan lokal yang kurang kuat, tertinggal jauh. (Muthmaina, 2024)