
Dari Pelataran Parkiran RSUD Ende Sampai Pelataran Rumah Tuhan (Refleksi Kecil : Kado Paskah dari Paroki Santo Marinus Pu’urere )
Oleh : "Sang Penutur", Alvares Keupung, Tinggal di Ende
Mengikuti “drama” sengsara dan kematian Yesus menyadarkan kita, bahwa dosa dan kesalahan manusia menghantar Yesus ke puncak Golgota. “Drama” sengsara dan kematian Yesus, sesungguhnya merefleksikan gambaran tentang apa – apa yang manusia lakukan tentang kejahatan dan dosa sepanjang ziarah hidup. Konsekuensinya, Yesus adalah korban – Yesus jadi tumbal oleh kerapuhan kemanusiawian manusia.
“Drama” sengsara dan kematian Yesus, “Via Dolorosa”. Ada apa di balik itu ? Sebuah seri tragedi hadir : antagonitas antara kebenaran ilahi versus kekuasaan duniawi dan kejahatan manusia. Demi kelanggengan kekuasaan secara politis, Yesus “dipreteli” : disesah, dicambuk, didera, diolok – olok dan bahkan disalibkan lalu wafat. Di hadapan kekuasaan politik yang lemah oleh kehendak massa, kebenaran diabaikan. Kekuasaan politik yang ambisius mengabaikan kebenaran yang ada di depan matanya.
Dalam konteks keselamatan, Yesus mati di kayu salib, karena ada maksud ilahi untuk menyelamatkan umat manusia. Justru karena daya ilahinya, kebenaran ilahi mesti masuk ke dalam realitas manusia meski harus melewati jalan yang paling sengsara : Via Dolorosa. Kebenaran ilahi tidak pernah kecut di hadapan kekuasaan duniawi ( politik ). Dan malah sebaliknya, kekuasaan duniawi justru tidak nyaman di hadapan kebenaran. Saya ingat apa yang dikatakan Pater Dr. Felix Baghi, SVD, seorang dosen Filsafat pada IFTK Ledalero, ” Kekuasaan selalu merasa terganggu kalau ada kebenaran berbicara di sekitarnya “, ( BUKA BOX, PILATUS, TIPE CUCI TANGAN ).