Dari Komunitas Basis Gerejani Menuju Komunitas Basis Manusiawi: Sebuah Upaya Gereja Katolik Dalam Membangun Dialog Antar-Agama Di Indonesia (Bagian V)

Oleh Drs. Hironimus Pakaenoni, L.Th. (Dosen Fakultas Filsafat Unwira Kupang)

 

2.5. Beberapa Refleksi Teologis dan Evaluasi

Meskipun Komunitas-komunitas Basis Kristiani di Indonesia kini cukup berkembang dengan baik, masih ada beberapa masalah internal menantang yang harus diatasi demi menjadikan Komunitas-komunitas Basis Kristiani sungguh-sungguh sebagai sarana dan cara baru hidup meng-Gereja di Indonesia dewasa ini. Menurut para peserta Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia tahun 2000, tantangan utama yang dihadapi Komunitas-komunitas Basis Kristiani kini berkaitan dengan pendampingan pastoral tradisional Gereja dengan karakter-karakter negatifnya yang tidak cocok lagi dengan situasi kini. Dalam konteks ini, dan sesuai dengan seruan Konsili Vatikan II, Gereja di Indonesia harus
terus-menerus membaharui dan mengubah dirinya:
Dari model Gereja “piramidal” yang terlampau lamban bereaksi terhadap tantangan-tantangan yang ada dan dalam mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang akan datang, menuju Gereja yang ditandai oleh kemuridan Kristiani sejati, olehnya semua anggota dalam
suasana harmoni dan tindakan bersama dapat memainkan perannya seturut
kharismanya masing-masing, dituntun oleh pengambilan keputusan bijaksana dan cermat dalam setiap pertemuan kontemporer dan masad epan,  yang menuntut partisipasi bermakna di dalam Gereja dan masyarakat; Dari pola-pola kepemimpinan Gereja pra-Konsili Vatikan II di mana keputusan-keputusan Gereja bergantung semata-mata pada hirarki, menuju peran ministerial yang sesungguhnya dari para pemimpin Gereja di dalam persekutuan iman dan kemurahan hati, olehnya semua anggota Gereja memiliki bagiannya yang sah dalam disermen (pengambilan keputusan yang bijaksana dan cermat) dan tanggungjawab bersama; Dari  “eklesiosentrisme” dalam pengertian terlampau banyak perhatian terhadap kepentingan-kepentingan internal Gereja, menuju model Gereja Pelayan yang terarah kepada masyarakat, dalam semangat kemuridan Kristiani sejati yang dicirikan oleh komitmen iman yang total bagi kesejahteraan bersama; dari sikap “reaktif” semata yang selalu menyusul atau berjalan di belakang fakta, menuju sikap “proaktif” yang mengantisipasi perkembangan masa depan dengan berpijak pada basis analisis terhadap trend-trend sosial yang ada; Dari penekanan berlebihan terhadap aspek-aspek institusional Gereja menuju apresiasi yang tepat terhadap persekutuan cinta yang lebih “kharismatik”, yang menekankan kesatuan iman dalam keragaman manifestasinya, dan yang menuntut revisi terhadap struktur-struktur serta mekanisme komunitas; Dari desakan kuat terhadap kegiatan-kegiatan eksternal dalam menanggapi kebutuhan-kebutuhan aktual (aktivisme), menuju penekanan yang lebih besar terhadap motivasi seturut semangat Injil dan terhadap kesaksian Kristiani penuh makna dalam konteks sekularisasi yang semakin meningkat.

Perubahan dan pembaharuan Gereja di Indonesia ini harus didukung oleh refleksi teologis dengan ciri-ciri berikut: Kewaspadaan menilai situasi kehidupan konkret dalam terang iman yang didasarkan pada Sabda Allah dalam Kitab Suci; Sikap menjalankan teologi sebagai kharisma demi membangun
Komunitas-komunitas Basis Kristiani, melawan teologi yang semata-mata teoretis, spekulatif dan steril; Pendekatan berteologi “dari atas” atau top-down semata harus
dilengkapi dan diintegrasikan dengan cara berteologi yang bertolak dari “religiusitas popular”, misalnya, cara-cara konkret aktual
orang-orang Kristen menghidupi imannya, sembari menilai seluruh proses secara kritis  yang didasarkan pada fakta bahwa di dalam “religiusitas popular” ini, iman Kristen berjumpa dengan keyakinan serta kepercayaan yang ditemukan dalam agama-agama lain, dan bahwa Roh itu hadir di mana
saja serta berkarya juga di dalam agama-agama lain; Cara berteologi dalam konteks visi dunia kosmik yang, walaupun terancam oleh modernisasi yang terus berlangsung, tetap tinggal dalam basis budaya-budaya Indonesia; elaborasi lebih lanjut Teologi
Penciptaan di dalam perspektif soteriologis, untuk melengkapi cara berteologi tradisional masa lampau yang cenderung bersifat
“arsitektonik-antroposentris”.
2.6. Penutup
BACA JUGA:
Dari Komunitas Basis Gerejani Menuju Komunitas Basis Manusiawi: Sebuah Upaya Gereja Katolik Dalam Membangun Dialog Antar-Agama di Indonesia (Bagian I)
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More